MAKALAH SEJARAH LOKAL
GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI DAERAH
ISTIMEWA SURAKARTA (DIS) TAHUN 1945-1946
Disusun guna
memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Lokal
Dosen Pengampu: Drs. Tri Yunianto, M.Hum
Disusun Oleh:
Muhafiz Ghifari Ahmad [K4412049]
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi pembawa berkah dan penghancur
kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lokal. Selain
itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh
mengenai berdirinya Daerah Istimewa Surakarta, munculnya Gerakan Anti Swapraja
di Daerah Istimewa Surakarta, Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta pada
tahun 1945-1946, dan berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat
bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis
juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan pada umumnya.
Surakarta, 10 Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL......................................................................................... i
KATA
PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar Belakang
Masalah.......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A.
Berdirinya
Daerah Istimewa Surakarta................................................... 3
B.
Munculnya
Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta....... 5
C.
Kebijakan Praja
Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946.............. 10
D.
Berakhirnya
Daerah Istimewa Surakarta................................................ 15
BAB
III PENUTUP........................................................................................... 18
A.
Kesimpulan............................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemerintah Daerah Surakarta setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, sering mengalami perubahan. Hal ini erat
kaitannya dengan perkembangan sosial politik yang terjadi selama masa awal itu,
dimana sering terjadi konflik yang membawa pengaruh terhadap sistem
pemerintahan yang berlaku. Pemerintahan Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran
yang sudah ada di Surakarta, bahkan sebelum Republik Indonesia merdeka berusaha
untuk melegitimasi keberadaannya. Mereka menyatakan dukungan kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang baru merdeka itu, dan pihak Republik pun membalas
dengan menyatakan Surakarta sebagai Daerah Istimewa Surakarta, bagian dari
Republik Indonesia.
Sebenarnya, keberadaan kedua Swapraja ini tidak
dapat membawa kesejahteraan rakyat pada waktu itu, hanya kalangan atas saja
yang mendapatkan fasilitas dan hasil dari sistem kerajaan feudal itu. Maka
mulai bermunculan gerakan-gerakan sosial dari para pejuang yang menentang
keberadaan Praja itu di Surakarta, mereka sering disebut sebagai Gerakan Anti
Swapraja. Mereka terdiri dari golongan-golongan kiri yang berpaham sosialis-komunis
maupun dari golongan moderat.
Pertentangan antara pihak Pro Swapraja dan Anti
Swapraja ini bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, yang cukup banyak. Kondisi yang
semakin kacau ini menyebabkan perlunya kebijakan Pemerintah Pusat Republik
Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dan akhirnya Daerah
Istimewa ini dibubarkan guna meredam konflik di Surakarta.
Alasan penulis mengambil judul “Gerakan Anti
Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946” sebagai makalah Sejarah
Lokal adalah karena sejarah local ini memiliki keunikan tersendiri. Hal ini
berkaitan dengan keberadaan Daerah Istimewa Surakarta yang hanya bisa bertahan
selama 1 (satu) tahun, berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sampai
sekarang masih kokoh berdiri. Kedekatan kedua Daerah Istimewa itu ternyata
tidak menjadikan keduanya bernasib sama.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa
sub bahasan terkait Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta tahun
1945-1946.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang sudah disampaikan diatas, maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana Berdirinya
Daerah Istimewa Surakarta?
2.
Bagaimana Munculnya
Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta?
3.
Apasaja Kebijakan
Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946?
4.
Bagaimana Berakhirnya
Daerah Istimewa Surakarta?
C.
Tujuan Penulisan
Sedangkan tujuan dari penulisan makalah ini, antara
lain sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
berdirinya Daerah Istimewa Surakarta;
2.
Untuk mengetahui
munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewaa Surakarta;
3.
Untuk mengetahui
kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946;
4.
Untuk mengetahui
berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berdirinya Daerah Istimewa Surakarta
Sejak masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan
daerah Vorstenlanden atau daerah
Swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen). Surakarta
tidak diatur dalam UU seperti daerah lain tapi diatur tersendiri dengan
perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri Sunan dengan nama Politic Contract (kontrak politik). Ada
dua macam kontrak politik, yaitu Long
Contract (Kontrak panjang) tentang kesetaraan kekuasaan antara kerajaan
asli Indonesia dengan Belanda, dan korte
verklaring (pernyataan pendek) tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda.
Dan Surakarta masuk ke dalam Long
contract. Sejak masa pendudukan Jepang pun, Surakarta tetap dipertahankan
sebagai daerah istimewa dengan sebutan Kochi.
Dan saat persiapkan kemerdekaan, dalam rapat PPKI, nantinya paska Indonesia
merdeka, Surakarta tetap dijadikan sebagai Daerah Istimewa.
Selain itu, pada masa Pergerakan Nasional, Keraton
Surakarta memberikan keleluasaan kepada organisasi pergerakan untuk bergerak,
seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. Pada masa pendudukan
Jepang, Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XII bersama dengan para pemuda
mengepung Markas Kempetai di Timuran
dan bersama-sama dengan Komite Nasional Indonesia (KNI) Surakarta melucuti
persenjataan Jepang di Markas Kompetai
di wilayah Kalurahan Kemlayan, sebelah barat pasar Pon dan Kidobutai di Mangkubumen Solo tanpa terjadi pertumpahan darah.
Sejarah panjang Daerah Istimewaa Surakarta bermula
dari rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. Dimana pada saat itu, PPKI
menetapkan wilayah Republik Indonesia dibagi atas 8 (delapan) provinsi, yaitu:
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil,
dan Sumatera serta dua Daerah Istimewa, Surakarta dan Yogyakarta.
Penetapan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945, tak
terlepas dari adanya surat Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta sehari
sebelumnya, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, dimana Sri Susuhunan Paku Buwono XII
dan KGPAA Mangkunegoro VII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas
kemerdekaan Indonesia yang selanjutnya diikuti oleh maklumat resmi dukungan
Surakarta yang berdiri di belakang Republik Indonesia pada tanggal 1 September
1945 yang intinya berisi:
1.
Negeri Surakarta
yang bersifat kerajaan adalah Daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia
dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia;
2.
Hubungan Negeri
Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar maklumat
tersebut, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 memberikan piagam kedudukan
kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII pada kedudukan
sebagai Kepala Daerah Istimewa.
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia,
menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri
Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa
dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada
Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
|
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia,
menetapkan:
Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping VIII.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri
Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa
dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada
Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
|
Sejak keluarnya
piagam dari Presiden Soekarno, maka kedudukan Surakarta sebagai Provinsi atau
Daerah Istimewa disahkan. Daerah Istimewa Surakarta ini terdiri dari Daerah
Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunegaran, dan diperintah secara
bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara. Penetapan status
istimewa ini juga sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan
Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian
dari Republik Indonesia yang merdeka.
B.
Munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa
Surakarta
Berpindahnya ibukota Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta turut menarik kelompok oposisi untuk bergerak lebih dekat dengan
pemerintah pusat, yaitu dengan memilih Surakarta sebagai basis pergerakan. Pada
Oktober 1945, muncullah suatu gerakan sosial di Daerah Istimewa Surakarta,
yaitu Gerakan Anti Swapraja, atau Gerakan Anti Monarki/Feodal di Daerah
Istimewa Surakarta, dimana mereka terdiri dari para pejuang-pejuang yang
berhaluan kiri. Dalam tubuh oposisi berhaluan kiri sendiri terpecah menjadi
dua, kelompok Syahrir dan Tan Malaka. Kelompok Syahrir lebih kearah diplomasi,
sedangkan Tan Malaka lebih kearah perjuangan. Untuk merealisasikan
pergerakannya, Tan Malaka mencetuskan Revolusi Total. Pencetusan revolusi ini
mendapat sambutan baik dari pemuda dan masyarakat. Revolusi Total yang dimaksud
dalam hal ini tidak hanya terbebas dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi juga
terhapusnya feodalisme. Kelompok yang mendukung visi Tan Malaka membentuk
Persatuan Perjuangan (PP) pada tanggal 3 Januari 1946 yang berhasil menghimpun
141 laskar, organisasi politik dan lain-lain.
Timbulnya Gerakan Anti Swapraja ini dimulai dengan
timbulnya pertentangan di kalangan pejabat pemerintah kerajaan, yang disebabkan
pertentangan antara kelompok yang menghendaki perubahan dasar dalam
pemerintahan kerajaan dan kelompok yang tetap mempertahankan birokrasi
tradisional serta timbulnya gerakan dari kelompok kekuatan sosial politik dari
kalangan masyarakat atau dari kelompok radikal yang bertujuan menghapus Praja
Surakarta. Golongan radikal sebagian besar dipelopori oleh partai-partai
politik dan badan-badan perjuangan di wilayah Surakarta, antara lain yang
tergabung dalam PNI, PBI, PKI, Masyumi dan lain-lain. Sedangkan dari badan
kelaskaran yang menentang antara lain yang tergabung dalam BPRI, Barisan Banteng,
BBI, dan lain-lain. Bisa kita kelompok golongan yang terlibat dalam konflik
ini, antara lain:
1.
Golongan yang
menghendaki pemerintahan kerajaan. Golongan ini terdiri dari bangsawan kerajaan
dan kerabat keraton yang setia pada raja. Seperti, Sosroningrat, Woeyoningrat,
dan Joedonagoro.
2.
Kelompok
Moderat, yang bertujuan mempertahankan bentuk pemerintahan kerajaan, tapi
menghendaki perubahan dalam bentuk struktur birokrasi tradisional.
Beranggotakan sebagian kecil kelompok intelektual dari kalangan bangsawan
keraton yang sudah mendapat pendidikan tinggi.
3.
Kelompok
Radikal. Kelompok ini timbul dari organisasi kekuatan sosial politik, baik yang
tergabung dalam partai politik maupun badan perjuangan. Sebagian mereka
menuntut perubahan total. Tokohnya yang paling besar perannya adalah dari PNI.
Gerakan yang dibentuk oleh Tan Malaka ini memiliki tujuan
seperti penghapusan Daerah Istimewa Surakarta, serta pembubaran Mangkunegara
dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah pengambilan dan perampasan
tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh Mangkunegara dan Susuhunan, untuk
selanjutnya dibagikan kepada rakyat sesuai dengan kebijakan landreform oleh golongan komunis.
Gerakan ini juga muncul akibat kekuasaan Praja di Daerah Istimewa Surakarta
yang tidak dapat memberikan kesejahteraan rakyat, sebab pada sistem
pemerintahan, ekonomi, sosial budaya hanya memberikan fasilitas kepada kalangan
atas. Rakyat biasa hidup dalam tekanan dan kewajiban yang berat. Meski kedua
praja itu secara de jure dilindungi
UUD 1945, namun tidak memperoleh dukungan dari rakyat, sehingga kapan saja bisa
bergolak. Gerakan ini menuntut 3 hal, yaitu:
1.
Meminta
dihapusnya Daerah Istimewa/ Swapraja Surakarta;
2.
Meminta ganti
Raja/ Susuhunan;
3.
Meminta
perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak sesuai
lagi dengan zamannya.
Revolusi sosial di Surakarta merupakan pertemuan
antara kebencian rakyat atas pemimpin-pemimpin tradisional dengan kepentingan
kekuatan politik yang ingin menggoyang pemimpin-pemimpin nasional. Kekuatan
politik dan kekuatan bersenjata berhasil menciptakan dan melakukan kekerasan di
Surakarta dengan memanfaatkan Gerakan Anti Swapraja.
Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah
menjadikan revolusi sosial berupa Gerakan Anti Swapraja di Surakarta sebagai
bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta.
Gerakan anti Swapraja menyebabkan kedudukan kraton menjadi sangat lemah dan
sulit sehingga status Swapraja Surakarta dapat dengan mudah diruntuhkan.
Puncak perlawanan Gerakan Anti Swapraja ini terjadi
pada tanggal 17 Oktober 1945. Pepatih Dalem (Perdana Menteri) Kasunanan KRMH
Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh Kelompok Gerakan Anti Swapraja. Aksi
ini diikuti dengan pencopotan bupati-bupati yang umumnya masih kerabat Raja,
dan kemudian digantikan oleh orang-orang yang pro Gerakan Anti Swapraja. Pada
Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru, KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh.
Selanjutnya pada April 1946, Sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang
sama.
Munculnya gejolak politik yang dimotori oleh
kelompok kiri di Daerah Istimewa Surakarta tersebut berujung pada munculnya
gerakan yang dikenal sebagai Pemberontakan PKI Madiun 1946. Perdana menteri
Syahrir pun pernah diculik saat kunjungan kerja ke Surakarta.
Pada tanggal 18 April 1946, Kesatuan Barisan Banteng
menahan Susuhunan di istananya agar bersedia menyerahkan wewenangnya kepada
rakyat. Selain itu Barisan Banteng mengutus Dr. Muwardi, Mangkusudiyono dan
Hadisunarto untuk menekan secara paksa Patih Partono Handoyonoto di
Mangkunegaran agar bersedia menerima lenyapnya pemerintahan Swapraja
Mangkunegara dan bersedia bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia.
Aksi penculikan dan ancaman yang ditujukan kepada keraton menjadikan kedudukan
keraton menjadi lemah. Kenyataan ini menjadikan kekuatan Anti Swapraja semakin
kuat dan semakin sering melakukan konsolidasi dan tuntutan yang menginginkan dihapusnya
swapraja Surakarta.
Pada tanggal
29 April 1946 lahir mosi dari Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI
(Gerakan Rakyat Indonesia), Barisan Banteng dan PNI yang berisi tuntutan agar
Daerah Istimewa Surakarta dihapuskan dan berubah menjadi karesidenan. Semakin
lemahnya dukungan terhadap keraton dan munculnya mosi yang didukung oleh
sebagian besar kekuatan yang berpengaruh di Surakarta menjadikan Susuhunan Paku
Buwono XII menyerah. Pada tanggal 30 April 1946, Paku Buwono XII mengeluarkan
pengumuman yang berisi kerelaan akan hilangnya Swapraja Surakarta dan menyerahkan
semua urusan ini kepada Pemerintah Pusat. Kesediaan Susuhunan tidak diikuti
oleh Mangkunegara VIII yang justru mempunyai sikap yang berlawanan dengan
kehendak kekuatan-kekuatan yang Anti Swapraja. Pada tanggal 1 Mei sebuah
pengumuman khusus dikeluarkan oleh pemerintah Mangkunegaran yang menyatakan
bahwa untuk beberapa bulan telah direncanakan adanya suatu undang-undang baru
untuk wilayah Mangkunegaran. Undang-undang dasar tersebut menetapkan
Mangkunegoro sebagai kepala dari suatu Daerah Istimewa Mangkunegaran, penetapan
pendapatan Mangkunegaran, harta benda, Badan Perwakilan Rakyat,
pegawai-pegawai, dan lain-lain. Namun hal tersebut dikecam oleh KNI Daerah
Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan mosi yang berisi desakan kepada pemerintah
Agung Mangkunegaran untuk lekas membentuk pemerintahan di Surakarta berdasarkan
kedaulatan rakyat di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Lain lagi dengan
pemerintah pusat yang condong mendukung Pemerintahan Swapraja. Soedarsono,
selaku Menteri Dalam Negeri mengusulkan adanya pemilihan umum di daerah Surakarta.
Hal tersebut merangsang anggota-anggota Barisan
Banteng yang ekstrim untuk bertindak sendiri dengan melakukan aksi penculikan
terhadap tokoh-tokoh penting istana. Mereka yang berhasil diculik adalah Patih
Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr. Jaksonagoro dan Mr. Suwidji serta KRA.
Yudonagoro. Bersamaan dengan aksi-aksi penculikan terhadap pejabat kraton,
tuntutan-tuntutan yang menginginkan pembubaran Daerah Istimewa Surakarta terus
berjalan. Badan-badan perjuangan dan beberapa komponen masyarakat di Klaten dan
Boyolali mengadakan rapat umum yang menuntut hapusnya Swapraja Surakarta.
Selain itu daerah Wonogiri dan Tawangmangu menyatakan lepas hubungan dengan
Mangkunegara dan menuntut pemilihan umum secara demokratis. Pada tanggal 23 Mei
keadaan semakin gawat dimana pemerintahan dari 4 kabupaten telah memutuskan hubungan.
Pada saat situasi di Surakarta semakin gawat, maka Pemerintah
mengangkat Soerjo (Suryo) sebagai wakil pemerintah pusat di Surakarta
menggantikan R.P. Soeroso yang dianggap terlalu lemah. Soedarsono mengharapkan
Soerjo mampu memecahkan persolan di Surakarta dan dia bersedia bekerjasama
terhadap upaya-upaya pemerintah. Untuk menjamin kerjasama tersebut, ia
memerintahkan penangkapan terhadap tokoh-tokoh oposisi terutama Barisan Banteng.
Pada tanggal 23 dan 24 Mei 1946, atas perintah
Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono, terjadi penangkapan terhadap 12 orang
penting antiswapraja. Hal tersebut membuat marah Barisan Banteng, Hisbullah dan
Polisi Istimewa dengan melakukan demonstrasi. Pada tanggal 28 Mei 1946 diadakan
rapat umum/ raksasa dimana Sudiro selaku kepala Barisan Banteng memberikan
batas waktu 48 jam kepada kabinet untuk melepaskan para tahanan karena jika
tidak maka ia tidak akan berusaha lagi mengendalikan para pengikutnya yang sudah
marah. Ultimatum Sudiro berhasil dan pada tanggal 31 Mei 1946 para tahanan yang
terdiri dari Moewardi, Hadisunarto, dan Muljadi Djojomartono dibebaskan.
Setelah pembebasan tersebut maka dilangsungkannya sidang kabinet darurat yang
dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Jenderal Sudirman,dan tokoh-tokoh
lainnya yang memutuskan untuk membentuk suatu pemerintahan militer di Surakarta
yang disebut Pemerintahan Daerah Rakyat dan Tentara (PDRT).
C.
Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun
1945-1946
1.
Beberapa Kebijakan Politik KGPAA Mangkunegoro VIII
Dalam Usahanya Mempertahankan Daerah Istimewa Mangkunegaran Surakarta
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dibacakan oleh Ir.
Soekarno, para pemimpin di Jakarta kemudian berkeinginan membentuk lembaga
negara yang digunakan untuk mengurus masalah pemerintahan. Pada sidang PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu junbi Inkai pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan
pembagian kekuasaan dan administratif di wilayah Republik Indonesia, dimana
pemerintah swapraja diakui secara sah sebagai bagian wilayah dari kedaulatan
RI. Pengakuan tersebut tedapat dalam UUD 1945 Pasal 18 tentang hubungan pusat
dan daerah, termasuk daerah swapraja.
Raja
di Mangkunegaran pada waktu Indonesia merdeka, ialah Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunagara VIII, beliau lahir di Kartasura, 7 April 1925 dan
meninggal di Surakarta, 2 Augustus 1995, pada usia 70 tahun. Selama memerintah
Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara VIII, membuat berbagai kebijakan yang membawa
perubahan yang cukup baik, diantaranya Mangkunegara yang merupakan salah satu
kerajaan di Jawa, setelah Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bersedia bergabung
dan mengakui kedaulatan wilayah NKRI. Oleh Ir.Sukarno, Mangkunegaran Surakarta
mendapat perlakuan khusus daerah, dengan menjadi daerah Istiwewa Surakarta,
karena jasanya yang gigih melawan pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.
Berbagai
krisis legitimasi yang terjadi di Mangkunegaran kemudian diantisipasi oleh
Mangkunegoro VIII dengan mengeluarkan maklumat tanggal 1 September 1945 yang
berisi:
a.
Bahwa keradjaan Mangkoenegaraan
soeatoe daerah istimewa dari pada Negara republiek Indonesia. (Bahwa Kerajaan Mangkunegaran, suatu
daerah istimewaa dari Negara Republik Indonesia)
b.
Bahwa semoea oerosan pemerintahan
dalam keradjaan mangkunegaran kini ditetapkan dan dipimpin oleh pemerintah
Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peratoeran pemerintah repoebliek
Indonesia. (Bahwa
semua urusan pemerintahan dalam Kerajaan Mangkunegaran kini ditetapkan dan
dipimpin oleh pemerintah Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peraturan
Pemerintah Republik Indonesia)
c.
Bahwa perhoeboengan pemerintah
keradjaan Mangkunegaran dengan pemerintah repoblek Indonesia bersifat langsung.
(Bahwa perhubungan Pemerintah
Kerajaan Mangkunegaran dengan Pemerintah Republik Indonesia bersifat langsung)
Maklumat
yang dikeluarkan oleh Mangkunegara VIII tersebut memang menunjukan keinginan
yang kuat dari pihak Mangkunegaran untuk mempertahankan kedudukan Mangkunegaran
sebagi daerah istimewa. Usaha yang dilakukan oleh Mangkunegoro VIII dengan
mengeluarkan maklumat 1 September ini ternyata tidak mengurangi keinginan
Gerakan Anti Swapraja untuk menghapuskan daerah swapraja di Surakarta. Para
pendukung swapraja Mangkunegaran kemudian mengadakan rapat pegawai antara orang
tua dan pemuda Mangkunegaran pada hari Selasa 16 Oktober 1945. Hasil rapat
tersebut antara lain:
a.
Hamba sekalian pegawai negeri
Mangkunegaran, berjanji dan selaloe setija terhadap Seri Padoeka Mangkunegoro
VIII beserta pemerintah Negeri Mangkunegaran, dan berjanji setiap waktoe
bersedia menoroet dan mengerdjakan semoea atoeran dan perintah seri Padoeka
Mangkunegoro VIII beserta pemerintah negeri Mangkunegaran. (Kami semua pegawai Negeri
Mangkunegaran berjanji dan selalu setia kepada Sri Paduka Mangkunegara VIII
beserta Pemerintah Negeri Mangkunegaran dan berjanji setiap waktu bersedia
menurut dan mengerjakan semua aturan dan perintah Sri Paduka Mangkunegara VIII
beserta Pemerintah Negeri Mangkunegaran)
b.
Hamba sekalijan pegawai negeri
Mangkunegaran, berjanji joega diikoetkan ontoek rasa tangguengjawab akan
memelihara dan mempertahankan swapraja kemerdekaan Negara Repobliek Indonesia
jang berdasarkan kedaolelatan rakyat. (Kami semua pegawai Negeri Mangkunegaran, berjanji juga
diikutkan untuk rasa tanggung jawab akan memelihara dan mempertahankan swapraja
kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat)
c.
Hamba sekalijan pegawai Negeri
Mangkunegaran berjanji, bersikap dan berdjendjak seksama sebagai warga negara
Indonesia dan menentang segala kekoesaan asing jang hendak memerintah dan
mendjadjah Indonesia merdeka, TANAH AIR KITA. (Kami semua pegawai Negeri
Mangkunegaran berjanji, bersikap dan bertindak seksama sebagai Warga Negara
Indonesia dan menentang segala kekuasaan asing yang hendak memerintah dan
menjajah Indonesia merdeka, TANAH AIR KITA)
Tetapi
upaya pegawai pemerintah Surakarta tersebut ternyata tidak mampu mengatasi
permasalahan dan konflik yang terjadi di Surakarta. Selanjutnya pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pada tanggal 23 Mei 1946 yang berisi
tentang pemerintah Republik Indonesia yang akan menempatkan seorang wakilnya di
Surakarta untuk sementara waktu. Wakil pemerintah Indonesia yaitu Suryo, sejak
27 Mei datang ke Surakarta untuk mengatur keadaan yang rumit di Surakarta.
Tindakan
pemerintah Indonesia dengan menempatkan seorang wakilnya tersebut, Mangkunegoro
VIII kemudian mengeluarkan maklumat tanggal 25 Mei 1946. Maklumat Mangkunegoro
VIII tersebut berisi :
“Tindakan pemerintah Agoeng
menempatkan ontoek sementara seorang Wakil Pemerintah (P.T. Soerjo) di
Soerakarta, jang akan menjalankan pemerintahan di seloroeh Soerakarta itoe,
sasma sekali tidak berarti akan mengoebah adanja daerah dan adanja pemerintah
Mangkoenenegaran, karena maksoed Pemerintah Agoeng dengan tindakan itoe
semata-mata hanja goena melenjapkan kekadjoean di kalangan rakyat, jang disana
sini soedah terjadi, djadi soepaja semonja selekas-lekasnya kembali tenang dan
tentram lagi.” (Tindakan Pemerintah
Pusat menempatkan sementara seorang Wakil Pemerintah (P.T Suryo) di Surakarta
yang akan menjalankan pemerintahan di seluruh Surakarta itu, sama sekali tidak
berarti akan mengubah adanya daerah dan adanya pemerintah Mangkunegaran, karena
maksud Pemerintah Pusat dengan tindakan itu semata-mata hanya guna melenyapkan
kekacauan di kalangan rakyat, yang disana sini sudah terjadi, jadi supaya
semuanya selekas-lekasnya kembali tenang dan tenteram lagi)
Dari
maklumat tersebut terlihat dapat disimpulkan dengan jelas sikap KGPAA
Mangkunegoro VIII dalam mempertahankan daerah kekuasaannya di Mangkunegaran. Memang
pihak Mangkunegaran menghargai tindakan pemerintah Republik Indonesia dengan
menempatkan seorang wakilnya di Surakarta tapi harus dipahami pula status pemerintahan
Mangkunegaran sebagai daerah istimewa yang dilindungi oleh UUD 1945 Republik
Indonesia.
2.
Kebijakan Politik KGPAA Mangkunegoro VIII dalam
Menghadapi Gerakan Anti Swapraja
Gerakan anti swapraja yang berlarut-larut
menjadi semakin besar dengan tambahan kekuatan yang berasal dari pihak oposisi,
mereka membuat wadah yang tergabung dalam persatuan perjuangan ke Surakarta,
setelah ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta akibat
pertempuran kembali dengan Belanda. Kehadiran pihak oposisi ke Surakarta
mengakibatkan situasi politik di Surakarta semakin keruh dan kacau. Persatuan
perjuangan dari pihak oposisi dan anti swapraja akhirnya semakin membangkitkan
gerakan anti swapraja di Surakarta.
KGPAA Mangkunegara VIII melihat
situasi politik di Surakarta tidak menguntungkan bagi kekuasaannya. KGPAA
Mangkunegoro VIII kemudian mengeluarkan maklumat lagi pada tanggal 20 Maret
1946. Dalam maklumat tersebut berisikan bahwa Pemerintah Mangkunegaran akan
mengambil tindakan-tindakan yang tegas terhadap golongan orang orang yang:
a.
Menyiarkan
berita atau melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengelisahkan atau
mengacaukan masyarakat;
b.
Menyiarkan
berita atau melakukan perbuatan dengan maksud memecah masyarakat.
c.
Menghambat
usaha dalam menyempurnakan pertahanan negara.
Maklumat Mangkunegoro VIII tersebut
pada akhirnya memang tidak dapat mengurangi intimidasi dari Gerakan Anti Swapraja
terhadap pihak kerajaan. Gerakan Anti Swapraja malah semakin bertambah kuat dan
hebat setelah kepolisian daerah Surakarta menyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran serta menyatakan berdiri sebagai bagian dari
keanggotaan Kepolisian Republik Indonesia. Hal tersebut kemudian diikuti oleh
instansi-instansi yang lain dan akibatnya kekuatan pihak pro swapraja semakin
berkurang dan lemah. Setelah pertentangan yang berlarut-larut akhirnya para
pemimpin Gerakan Anti Swapraja telah yang berhasil ditangkap. akan tetapi
kemudian para pemimpin itu dibebaskan, dan hal itu tetap tidak mengurangi upaya
Gerakan Anti Swapraja dalam menentang Pemerintah Swapraja di Daerah Istimewa
Surakarta. Gerakan Anti Swapraja juga melakukan berbagai tindakan criminal dengan
penculikan di wilayah kabupaten yang di kuasai KRT Reksonegoro yang menjabat
sebagai Bupati Boyolali dan RT Condronegoro yang menjabat sebagai Bupati Anom
kemudian juga diculik. Penculikan juga dilakukan terhadap Wakil Bupati Klaten
RT Pringgonegoro. Setelah menculik pejabat kabupaten, Gerakan Anti Swapraja
yang semakin hebat kemudian menggantikan kedudukan bupati-bupati tersebut dan
Gerakan Anti Swapraja mengeluarkan pernyataan dan memutuskan hubungan dengan
pemerintah Swapraja Surakarta.
D.
Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta
Sejak
Presiden Soekarno menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa, berdiri tiga pemerintahan
di Surakarta yakni Kasunanan, Mangkunegaran, dan Komite Nasional Daerah (KND).
Situasi instabilitas tersebut memunculkan kelompok Pro dan Anti Swapraja.
Kelompok Pro Swapraja membentuk organisasi Perkumpulan Kerabat Surakarta (PKS),
pendukung PKS sebagian besar adalah masyarakat yang setia dengan pemerintah
kerajaan. Sementara itu, kelompok Anti Swapraja muncul dari berbagai kalangan,
diantaranya adalah kalangan keraton yang berfikiran modern, aktivis
partai-partai politik, seperti PKI, PNI, Murba, PSI, dan organisasi masa
seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan PKI dan Barisan
Benteng Surakarta. Mereka bersatu dalam Panitia Anti Swapraja (PAS).
Peseteruan
kedua kubu membuat pemerintah melakukan sidang kabinet darurat yang dihadiri
oleh Presiden, Wakil Presiden, Jendral Soedirman, dan tokoh-tokoh penting
lainnya. Dalam sidang tersebut diputuskan untuk membentuk suatu pemerintahan
militer di Surakarta. Pemerintahan militer yang dibentuk disebut Pemerintahan
Daerah Rakyat dan Tentara. Sementara itu, ketegangan di Surakarta masih
berlanjut. Surakarta dan Yogyakarta telah dikuasi oleh dua golongan yaitu
golongan oposisi yang ada di Surakarta dan Yogyakarta sebagai markas
pemerintah.
Dalam
sidang luar biasa tanggal 15 Juni 1946 di Purworejo, Badan Pekerja KNIP
menerima suatu rencana undang-undang mengenai pernyataan “keadaan darurat”.
Pada hari berikutnya, Hatta berangkat ke Surakarta untuk memberitahu militer
dan pemimpin-pemimpin politik setempat dan para raja bahwa malam itu Presiden
akan mengumumkan keadaan darurat bagi Surakarta. Keadaan darurat di Surakarta
benar-benar darurat di saat Syahrir diculik pada tanggal 27 Juni 1946 di kota
oposisi ini.
Peristiwa
itu mengundang kemarahan Soekarno. Setelah Syahrir dibebaskan, Jendral Sudarsono
dan pasukannya menyerang Istana Presiden di Yogyakarta. Namun usaha ini gagal
karena kesatuan Pasindo telah bersiap siaga di depan gedung istana. Setelah
peristiwa itu pemerintah lebih berhati-hati dengan kelompok oposisi. Menghadapi
situasi yang semakin rumit, Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta meminta
Pemerintah Pusat yang saat itu berkedudukan di Yogjakarta mengambil tindakan. Maka
dilakukan serangkaian pembicaraan antara Wakil Pemerintahan Daerah Istimewa
Surakarta yang dipimpin KRMH Woerjaningrat dengan Perdana Menteri Syahrir di
Gedung Bank Indonesia Surakarta. Hasil pembahasan dan pembicaraan menyepakati
bahwa untuk mengatasi kekacauan, sebagai wakil pemerintah Daerah Istimewa
Surakarta, Woerjaningrat mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa
Surakarta diambil alih pemerintah Pusat dan bila situasinya sudah aman
dikembalikan lagi.
Sebagai
realisasi dari usulan Woerjaningrat yang juga tokoh BPUPKI itu, pemerintah
mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946
tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta.
Pasal
kedua Penetapan Pemerintah No 16/SD tahun 1946 itu dinyatakan, “Sebelum
bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan
dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang
merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap
pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang
Residen di Jawa dan Madura.”
Dari
Penetapan Pemerintah tersebut sudah terbaca bahwa pengembalian posisi Daerah Istimewa
Surakarta kepada pemerintah pusat hanya bersifat sementara. Di samping itu,
Daerah Surakarta yang dipandang sebagai Karesidenan masih mempunyai sifat
istimewa tercermin dalam kata-kata “Pemerintahan di daerah-daerah
Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat” dan
secara de yure sifat istimewa tersebut masih terus diakui.
Namun, akhirnya Pemerintah RI membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan
menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan
Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan
Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Provinsi Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta
(DIS) adalah sebuah provinsi yang pernah ada sejak Agustus 1945 sampai tanggal
16 Juni 1946. Provinsi ini merupakan bagian dari Republik Indonesia yang
terdiri atas Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunagaran dan
diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan
Mangkunegara.Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti Swapraja/anti monarki/anti
feodal di Surakarta, dimana salah seorang pimpinannya disebut-sebut adalah Tan
Malaka, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah
penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari
gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara
dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh
golongan komunis.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan &
pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS
& menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah
Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk &
susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta & Adipati
Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga negara
Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni &
budaya Jawa. Keputusan ini berdasarkan Peraturan Presiden tanggal 15 Juli no.
16/SD/1946 yang berbunyi: “Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran untuk sementara
waktu dipandang merupakan karisidenan sebelum susunan pemerintahannya
ditetapkan undang-undang”.
DAFTAR PUSTAKA
Julianto, Ibrahim. 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja.
Yogyakarta: Malioboro Press.
Ramadan Agndriyanto. 2009. Skripsi.
Gerakan Antiswapraja di Surakarta Tahun 1945-1946. TP.
Sukoco. 1990. Skripsi. Revolusi di
Surakarta 1945-1950. Surakarta: UNS
Ciptyasari, Devi. 2014. Gerakan Anti
Swapraja di Surakarta, dalam “http://deviciptyasari.blogspot.com/2014/03/gerakan-anti-swapraja-di-surakarta.html”,
diakses pada 10 Juni 2014. Pukul 12.00 WIB
Didin, Harianto. 2011. Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta,
dalam “http://hariantodidin.blogspot.com”, diunduh hari kamis 4 Juni 2014.
Pukul 02.00.
Jojo, Joula. 2013.
Peristiwa Sejarah Lokal, dalam
“http://jhojho-jhoula.blogspot.com/2013/05/peristiwa-sejarah-lokal_7393.html”,
diakses pada 10 Juni 2014. Pukul 20.00 WIB