24 Juni 2014

MAKALAH SEJARAH LOKAL
GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA (DIS) TAHUN 1945-1946
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Lokal
Dosen Pengampu: Drs. Tri Yunianto, M.Hum


Disusun Oleh:
Muhafiz Ghifari Ahmad                     [K4412049]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014




KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi pembawa berkah dan penghancur kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lokal. Selain itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai berdirinya Daerah Istimewa Surakarta, munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta, Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta pada tahun 1945-1946, dan berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan pada umumnya.



                                                                                              Surakarta, 10 Juni 2014


                      Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A.    Berdirinya Daerah Istimewa Surakarta................................................... 3
B.     Munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta....... 5
C.     Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946.............. 10
D.    Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta................................................ 15
BAB III PENUTUP........................................................................................... 18
A.    Kesimpulan............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 19





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pemerintah Daerah Surakarta setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sering mengalami perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan perkembangan sosial politik yang terjadi selama masa awal itu, dimana sering terjadi konflik yang membawa pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang berlaku. Pemerintahan Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran yang sudah ada di Surakarta, bahkan sebelum Republik Indonesia merdeka berusaha untuk melegitimasi keberadaannya. Mereka menyatakan dukungan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka itu, dan pihak Republik pun membalas dengan menyatakan Surakarta sebagai Daerah Istimewa Surakarta, bagian dari Republik Indonesia.
Sebenarnya, keberadaan kedua Swapraja ini tidak dapat membawa kesejahteraan rakyat pada waktu itu, hanya kalangan atas saja yang mendapatkan fasilitas dan hasil dari sistem kerajaan feudal itu. Maka mulai bermunculan gerakan-gerakan sosial dari para pejuang yang menentang keberadaan Praja itu di Surakarta, mereka sering disebut sebagai Gerakan Anti Swapraja. Mereka terdiri dari golongan-golongan kiri yang berpaham sosialis-komunis maupun dari golongan moderat.
Pertentangan antara pihak Pro Swapraja dan Anti Swapraja ini bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, yang cukup banyak. Kondisi yang semakin kacau ini menyebabkan perlunya kebijakan Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dan akhirnya Daerah Istimewa ini dibubarkan guna meredam konflik di Surakarta.
Alasan penulis mengambil judul “Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946” sebagai makalah Sejarah Lokal adalah karena sejarah local ini memiliki keunikan tersendiri. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Daerah Istimewa Surakarta yang hanya bisa bertahan selama 1 (satu) tahun, berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sampai sekarang masih kokoh berdiri. Kedekatan kedua Daerah Istimewa itu ternyata tidak menjadikan keduanya bernasib sama.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa sub bahasan terkait Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah disampaikan diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana Berdirinya Daerah Istimewa Surakarta?
2.         Bagaimana Munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta?
3.         Apasaja Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946?
4.         Bagaimana Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta?
C.      Tujuan Penulisan
Sedangkan tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui berdirinya Daerah Istimewa Surakarta;
2.      Untuk mengetahui munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewaa Surakarta;
3.      Untuk mengetahui kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946;
4.      Untuk mengetahui berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Berdirinya Daerah Istimewa Surakarta
Sejak masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan daerah Vorstenlanden atau daerah Swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen). Surakarta tidak diatur dalam UU seperti daerah lain tapi diatur tersendiri dengan perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri Sunan dengan nama Politic Contract (kontrak politik). Ada dua macam kontrak politik, yaitu Long Contract (Kontrak panjang) tentang kesetaraan kekuasaan antara kerajaan asli Indonesia dengan Belanda, dan korte verklaring (pernyataan pendek) tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Dan Surakarta masuk ke dalam Long contract. Sejak masa pendudukan Jepang pun, Surakarta tetap dipertahankan sebagai daerah istimewa dengan sebutan Kochi. Dan saat persiapkan kemerdekaan, dalam rapat PPKI, nantinya paska Indonesia merdeka, Surakarta tetap dijadikan sebagai Daerah Istimewa.
Selain itu, pada masa Pergerakan Nasional, Keraton Surakarta memberikan keleluasaan kepada organisasi pergerakan untuk bergerak, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. Pada masa pendudukan Jepang, Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XII bersama dengan para pemuda mengepung Markas Kempetai di Timuran dan bersama-sama dengan Komite Nasional Indonesia (KNI) Surakarta melucuti persenjataan Jepang di Markas Kompetai di wilayah Kalurahan Kemlayan, sebelah barat pasar Pon dan Kidobutai di Mangkubumen Solo tanpa terjadi pertumpahan darah.
Sejarah panjang Daerah Istimewaa Surakarta bermula dari rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. Dimana pada saat itu, PPKI menetapkan wilayah Republik Indonesia dibagi atas 8 (delapan) provinsi, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera serta dua Daerah Istimewa, Surakarta dan Yogyakarta.
Penetapan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945, tak terlepas dari adanya surat Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta sehari sebelumnya, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, dimana Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia yang selanjutnya diikuti oleh maklumat resmi dukungan Surakarta yang berdiri di belakang Republik Indonesia pada tanggal 1 September 1945 yang intinya berisi:
1.         Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia;
2.         Hubungan Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar maklumat tersebut, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa.

Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945 Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping VIII.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
Sejak keluarnya piagam dari Presiden Soekarno, maka kedudukan Surakarta sebagai Provinsi atau Daerah Istimewa disahkan. Daerah Istimewa Surakarta ini terdiri dari Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunegaran, dan diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara. Penetapan status istimewa ini juga sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia yang merdeka.
B.       Munculnya Gerakan Anti Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta
Berpindahnya ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta turut menarik kelompok oposisi untuk bergerak lebih dekat dengan pemerintah pusat, yaitu dengan memilih Surakarta sebagai basis pergerakan. Pada Oktober 1945, muncullah suatu gerakan sosial di Daerah Istimewa Surakarta, yaitu Gerakan Anti Swapraja, atau Gerakan Anti Monarki/Feodal di Daerah Istimewa Surakarta, dimana mereka terdiri dari para pejuang-pejuang yang berhaluan kiri. Dalam tubuh oposisi berhaluan kiri sendiri terpecah menjadi dua, kelompok Syahrir dan Tan Malaka. Kelompok Syahrir lebih kearah diplomasi, sedangkan Tan Malaka lebih kearah perjuangan. Untuk merealisasikan pergerakannya, Tan Malaka mencetuskan Revolusi Total. Pencetusan revolusi ini mendapat sambutan baik dari pemuda dan masyarakat. Revolusi Total yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya terbebas dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi juga terhapusnya feodalisme. Kelompok yang mendukung visi Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan (PP) pada tanggal 3 Januari 1946 yang berhasil menghimpun 141 laskar, organisasi politik dan lain-lain.
Timbulnya Gerakan Anti Swapraja ini dimulai dengan timbulnya pertentangan di kalangan pejabat pemerintah kerajaan, yang disebabkan pertentangan antara kelompok yang menghendaki perubahan dasar dalam pemerintahan kerajaan dan kelompok yang tetap mempertahankan birokrasi tradisional serta timbulnya gerakan dari kelompok kekuatan sosial politik dari kalangan masyarakat atau dari kelompok radikal yang bertujuan menghapus Praja Surakarta. Golongan radikal sebagian besar dipelopori oleh partai-partai politik dan badan-badan perjuangan di wilayah Surakarta, antara lain yang tergabung dalam PNI, PBI, PKI, Masyumi dan lain-lain. Sedangkan dari badan kelaskaran yang menentang antara lain yang tergabung dalam BPRI, Barisan Banteng, BBI, dan lain-lain. Bisa kita kelompok golongan yang terlibat dalam konflik ini, antara lain:
1.         Golongan yang menghendaki pemerintahan kerajaan. Golongan ini terdiri dari bangsawan kerajaan dan kerabat keraton yang setia pada raja. Seperti, Sosroningrat, Woeyoningrat, dan Joedonagoro.
2.         Kelompok Moderat, yang bertujuan mempertahankan bentuk pemerintahan kerajaan, tapi menghendaki perubahan dalam bentuk struktur birokrasi tradisional. Beranggotakan sebagian kecil kelompok intelektual dari kalangan bangsawan keraton yang sudah mendapat pendidikan tinggi.
3.         Kelompok Radikal. Kelompok ini timbul dari organisasi kekuatan sosial politik, baik yang tergabung dalam partai politik maupun badan perjuangan. Sebagian mereka menuntut perubahan total. Tokohnya yang paling besar perannya adalah dari PNI.
Gerakan yang dibentuk oleh Tan Malaka ini memiliki tujuan seperti penghapusan Daerah Istimewa Surakarta, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah pengambilan dan perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh Mangkunegara dan Susuhunan, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat sesuai dengan kebijakan landreform oleh golongan komunis. Gerakan ini juga muncul akibat kekuasaan Praja di Daerah Istimewa Surakarta yang tidak dapat memberikan kesejahteraan rakyat, sebab pada sistem pemerintahan, ekonomi, sosial budaya hanya memberikan fasilitas kepada kalangan atas. Rakyat biasa hidup dalam tekanan dan kewajiban yang berat. Meski kedua praja itu secara de jure dilindungi UUD 1945, namun tidak memperoleh dukungan dari rakyat, sehingga kapan saja bisa bergolak. Gerakan ini menuntut 3 hal, yaitu:
1.         Meminta dihapusnya Daerah Istimewa/ Swapraja Surakarta;
2.         Meminta ganti Raja/ Susuhunan;
3.         Meminta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan zamannya.
Revolusi sosial di Surakarta merupakan pertemuan antara kebencian rakyat atas pemimpin-pemimpin tradisional dengan kepentingan kekuatan politik yang ingin menggoyang pemimpin-pemimpin nasional. Kekuatan politik dan kekuatan bersenjata berhasil menciptakan dan melakukan kekerasan di Surakarta dengan memanfaatkan Gerakan Anti Swapraja.
Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan revolusi sosial berupa Gerakan Anti Swapraja di Surakarta sebagai bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta. Gerakan anti Swapraja menyebabkan kedudukan kraton menjadi sangat lemah dan sulit sehingga status Swapraja Surakarta dapat dengan mudah diruntuhkan.
Puncak perlawanan Gerakan Anti Swapraja ini terjadi pada tanggal 17 Oktober 1945. Pepatih Dalem (Perdana Menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh Kelompok Gerakan Anti Swapraja. Aksi ini diikuti dengan pencopotan bupati-bupati yang umumnya masih kerabat Raja, dan kemudian digantikan oleh orang-orang yang pro Gerakan Anti Swapraja. Pada Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru, KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. Selanjutnya pada April 1946, Sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Munculnya gejolak politik yang dimotori oleh kelompok kiri di Daerah Istimewa Surakarta tersebut berujung pada munculnya gerakan yang dikenal sebagai Pemberontakan PKI Madiun 1946. Perdana menteri Syahrir pun pernah diculik saat kunjungan kerja ke Surakarta.
Pada tanggal 18 April 1946, Kesatuan Barisan Banteng menahan Susuhunan di istananya agar bersedia menyerahkan wewenangnya kepada rakyat. Selain itu Barisan Banteng mengutus Dr. Muwardi, Mangkusudiyono dan Hadisunarto untuk menekan secara paksa Patih Partono Handoyonoto di Mangkunegaran agar bersedia menerima lenyapnya pemerintahan Swapraja Mangkunegara dan bersedia bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Aksi penculikan dan ancaman yang ditujukan kepada keraton menjadikan kedudukan keraton menjadi lemah. Kenyataan ini menjadikan kekuatan Anti Swapraja semakin kuat dan semakin sering melakukan konsolidasi dan tuntutan yang menginginkan dihapusnya swapraja Surakarta.  
 Pada tanggal 29 April 1946 lahir mosi dari Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI (Gerakan Rakyat Indonesia), Barisan Banteng dan PNI yang berisi tuntutan agar Daerah Istimewa Surakarta dihapuskan dan berubah menjadi karesidenan. Semakin lemahnya dukungan terhadap keraton dan munculnya mosi yang didukung oleh sebagian besar kekuatan yang berpengaruh di Surakarta menjadikan Susuhunan Paku Buwono XII menyerah. Pada tanggal 30 April 1946, Paku Buwono XII mengeluarkan pengumuman yang berisi kerelaan akan hilangnya Swapraja Surakarta dan menyerahkan semua urusan ini kepada Pemerintah Pusat. Kesediaan Susuhunan tidak diikuti oleh Mangkunegara VIII yang justru mempunyai sikap yang berlawanan dengan kehendak kekuatan-kekuatan yang Anti Swapraja. Pada tanggal 1 Mei sebuah pengumuman khusus dikeluarkan oleh pemerintah Mangkunegaran yang menyatakan bahwa untuk beberapa bulan telah direncanakan adanya suatu undang-undang baru untuk wilayah Mangkunegaran. Undang-undang dasar tersebut menetapkan Mangkunegoro sebagai kepala dari suatu Daerah Istimewa Mangkunegaran, penetapan pendapatan Mangkunegaran, harta benda, Badan Perwakilan Rakyat, pegawai-pegawai, dan lain-lain. Namun hal tersebut dikecam oleh KNI Daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan mosi yang berisi desakan kepada pemerintah Agung Mangkunegaran untuk lekas membentuk pemerintahan di Surakarta berdasarkan kedaulatan rakyat di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Lain lagi dengan pemerintah pusat yang condong mendukung Pemerintahan Swapraja. Soedarsono, selaku Menteri Dalam Negeri mengusulkan adanya pemilihan umum di daerah Surakarta.
Hal tersebut merangsang anggota-anggota Barisan Banteng yang ekstrim untuk bertindak sendiri dengan melakukan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh penting istana. Mereka yang berhasil diculik adalah Patih Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr. Jaksonagoro dan Mr. Suwidji serta KRA. Yudonagoro. Bersamaan dengan aksi-aksi penculikan terhadap pejabat kraton, tuntutan-tuntutan yang menginginkan pembubaran Daerah Istimewa Surakarta terus berjalan. Badan-badan perjuangan dan beberapa komponen masyarakat di Klaten dan Boyolali mengadakan rapat umum yang menuntut hapusnya Swapraja Surakarta. Selain itu daerah Wonogiri dan Tawangmangu menyatakan lepas hubungan dengan Mangkunegara dan menuntut pemilihan umum secara demokratis. Pada tanggal 23 Mei keadaan semakin gawat dimana pemerintahan dari 4 kabupaten  telah memutuskan  hubungan.
Pada saat situasi di Surakarta semakin gawat, maka Pemerintah mengangkat Soerjo (Suryo) sebagai wakil pemerintah pusat di Surakarta menggantikan R.P. Soeroso yang dianggap terlalu lemah. Soedarsono mengharapkan Soerjo mampu memecahkan persolan di Surakarta dan dia bersedia bekerjasama terhadap upaya-upaya pemerintah. Untuk menjamin kerjasama tersebut, ia memerintahkan penangkapan terhadap tokoh-tokoh oposisi terutama Barisan Banteng.
Pada tanggal 23 dan 24 Mei 1946, atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono, terjadi penangkapan terhadap 12 orang penting antiswapraja. Hal tersebut membuat marah Barisan Banteng, Hisbullah dan Polisi Istimewa dengan melakukan demonstrasi. Pada tanggal 28 Mei 1946 diadakan rapat umum/ raksasa dimana Sudiro selaku kepala Barisan Banteng memberikan batas waktu 48 jam kepada kabinet untuk melepaskan para tahanan karena jika tidak maka ia tidak akan berusaha lagi mengendalikan para pengikutnya yang sudah marah. Ultimatum Sudiro berhasil dan pada tanggal 31 Mei 1946 para tahanan yang terdiri dari Moewardi, Hadisunarto, dan Muljadi Djojomartono dibebaskan. Setelah pembebasan tersebut maka dilangsungkannya sidang kabinet darurat yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Jenderal Sudirman,dan tokoh-tokoh lainnya yang memutuskan untuk membentuk suatu pemerintahan militer di Surakarta yang disebut Pemerintahan Daerah Rakyat dan Tentara (PDRT).
C.      Kebijakan Praja Daerah Istimewa Surakarta tahun 1945-1946
1.         Beberapa Kebijakan Politik KGPAA Mangkunegoro VIII Dalam Usahanya Mempertahankan Daerah Istimewa Mangkunegaran Surakarta
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dibacakan oleh Ir. Soekarno, para pemimpin di Jakarta kemudian berkeinginan membentuk lembaga negara yang digunakan untuk mengurus masalah pemerintahan. Pada sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu junbi Inkai pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan pembagian kekuasaan dan administratif di wilayah Republik Indonesia, dimana pemerintah swapraja diakui secara sah sebagai bagian wilayah dari kedaulatan RI. Pengakuan tersebut tedapat dalam UUD 1945 Pasal 18 tentang hubungan pusat dan daerah, termasuk daerah swapraja.
Raja di Mangkunegaran pada waktu Indonesia merdeka, ialah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara VIII, beliau lahir di Kartasura, 7 April 1925 dan meninggal di Surakarta, 2 Augustus 1995, pada usia 70 tahun. Selama memerintah Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara VIII, membuat berbagai kebijakan yang membawa perubahan yang cukup baik, diantaranya Mangkunegara yang merupakan salah satu kerajaan di Jawa, setelah Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bersedia bergabung dan mengakui kedaulatan wilayah NKRI. Oleh Ir.Sukarno, Mangkunegaran Surakarta mendapat perlakuan khusus daerah, dengan menjadi daerah Istiwewa Surakarta, karena jasanya yang gigih melawan pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.
Berbagai krisis legitimasi yang terjadi di Mangkunegaran kemudian diantisipasi oleh Mangkunegoro VIII dengan mengeluarkan maklumat tanggal 1 September 1945 yang berisi:
a.        Bahwa keradjaan Mangkoenegaraan soeatoe daerah istimewa dari pada Negara republiek Indonesia. (Bahwa Kerajaan Mangkunegaran, suatu daerah istimewaa dari Negara Republik Indonesia)
b.        Bahwa semoea oerosan pemerintahan dalam keradjaan mangkunegaran kini ditetapkan dan dipimpin oleh pemerintah Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peratoeran pemerintah repoebliek Indonesia. (Bahwa semua urusan pemerintahan dalam Kerajaan Mangkunegaran kini ditetapkan dan dipimpin oleh pemerintah Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peraturan Pemerintah Republik Indonesia)
c.         Bahwa perhoeboengan pemerintah keradjaan Mangkunegaran dengan pemerintah repoblek Indonesia bersifat langsung. (Bahwa perhubungan Pemerintah Kerajaan Mangkunegaran dengan Pemerintah Republik Indonesia bersifat langsung)
Maklumat yang dikeluarkan oleh Mangkunegara VIII tersebut memang menunjukan keinginan yang kuat dari pihak Mangkunegaran untuk mempertahankan kedudukan Mangkunegaran sebagi daerah istimewa. Usaha yang dilakukan oleh Mangkunegoro VIII dengan mengeluarkan maklumat 1 September ini ternyata tidak mengurangi keinginan Gerakan Anti Swapraja untuk menghapuskan daerah swapraja di Surakarta. Para pendukung swapraja Mangkunegaran kemudian mengadakan rapat pegawai antara orang tua dan pemuda Mangkunegaran pada hari Selasa 16 Oktober 1945. Hasil rapat tersebut antara lain:
a.        Hamba sekalian pegawai negeri Mangkunegaran, berjanji dan selaloe setija terhadap Seri Padoeka Mangkunegoro VIII beserta pemerintah Negeri Mangkunegaran, dan berjanji setiap waktoe bersedia menoroet dan mengerdjakan semoea atoeran dan perintah seri Padoeka Mangkunegoro VIII beserta pemerintah negeri Mangkunegaran. (Kami semua pegawai Negeri Mangkunegaran berjanji dan selalu setia kepada Sri Paduka Mangkunegara VIII beserta Pemerintah Negeri Mangkunegaran dan berjanji setiap waktu bersedia menurut dan mengerjakan semua aturan dan perintah Sri Paduka Mangkunegara VIII beserta Pemerintah Negeri Mangkunegaran)
b.        Hamba sekalijan pegawai negeri Mangkunegaran, berjanji joega diikoetkan ontoek rasa tangguengjawab akan memelihara dan mempertahankan swapraja kemerdekaan Negara Repobliek Indonesia jang berdasarkan kedaolelatan rakyat. (Kami semua pegawai Negeri Mangkunegaran, berjanji juga diikutkan untuk rasa tanggung jawab akan memelihara dan mempertahankan swapraja kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat)
c.         Hamba sekalijan pegawai Negeri Mangkunegaran berjanji, bersikap dan berdjendjak seksama sebagai warga negara Indonesia dan menentang segala kekoesaan asing jang hendak memerintah dan mendjadjah Indonesia merdeka, TANAH AIR KITA. (Kami semua pegawai Negeri Mangkunegaran berjanji, bersikap dan bertindak seksama sebagai Warga Negara Indonesia dan menentang segala kekuasaan asing yang hendak memerintah dan menjajah Indonesia merdeka, TANAH AIR KITA)
Tetapi upaya pegawai pemerintah Surakarta tersebut ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan dan konflik yang terjadi di Surakarta. Selanjutnya pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pada tanggal 23 Mei 1946 yang berisi tentang pemerintah Republik Indonesia yang akan menempatkan seorang wakilnya di Surakarta untuk sementara waktu. Wakil pemerintah Indonesia yaitu Suryo, sejak 27 Mei datang ke Surakarta untuk mengatur keadaan yang rumit di Surakarta.
Tindakan pemerintah Indonesia dengan menempatkan seorang wakilnya tersebut, Mangkunegoro VIII kemudian mengeluarkan maklumat tanggal 25 Mei 1946. Maklumat Mangkunegoro VIII tersebut berisi :
Tindakan pemerintah Agoeng menempatkan ontoek sementara seorang Wakil Pemerintah (P.T. Soerjo) di Soerakarta, jang akan menjalankan pemerintahan di seloroeh Soerakarta itoe, sasma sekali tidak berarti akan mengoebah adanja daerah dan adanja pemerintah Mangkoenenegaran, karena maksoed Pemerintah Agoeng dengan tindakan itoe semata-mata hanja goena melenjapkan kekadjoean di kalangan rakyat, jang disana sini soedah terjadi, djadi soepaja semonja selekas-lekasnya kembali tenang dan tentram lagi.” (Tindakan Pemerintah Pusat menempatkan sementara seorang Wakil Pemerintah (P.T Suryo) di Surakarta yang akan menjalankan pemerintahan di seluruh Surakarta itu, sama sekali tidak berarti akan mengubah adanya daerah dan adanya pemerintah Mangkunegaran, karena maksud Pemerintah Pusat dengan tindakan itu semata-mata hanya guna melenyapkan kekacauan di kalangan rakyat, yang disana sini sudah terjadi, jadi supaya semuanya selekas-lekasnya kembali tenang dan tenteram lagi)
Dari maklumat tersebut terlihat dapat disimpulkan dengan jelas sikap KGPAA Mangkunegoro VIII dalam mempertahankan daerah kekuasaannya di Mangkunegaran. Memang pihak Mangkunegaran menghargai tindakan pemerintah Republik Indonesia dengan menempatkan seorang wakilnya di Surakarta tapi harus dipahami pula status pemerintahan Mangkunegaran sebagai daerah istimewa yang dilindungi oleh UUD 1945 Republik Indonesia.
2.         Kebijakan Politik KGPAA Mangkunegoro VIII dalam Menghadapi Gerakan Anti Swapraja
Gerakan anti swapraja yang berlarut-larut menjadi semakin besar dengan tambahan kekuatan yang berasal dari pihak oposisi, mereka membuat wadah yang tergabung dalam persatuan perjuangan ke Surakarta, setelah ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta akibat pertempuran kembali dengan Belanda. Kehadiran pihak oposisi ke Surakarta mengakibatkan situasi politik di Surakarta semakin keruh dan kacau. Persatuan perjuangan dari pihak oposisi dan anti swapraja akhirnya semakin membangkitkan gerakan anti swapraja di Surakarta.
KGPAA Mangkunegara VIII melihat situasi politik di Surakarta tidak menguntungkan bagi kekuasaannya. KGPAA Mangkunegoro VIII kemudian mengeluarkan maklumat lagi pada tanggal 20 Maret 1946. Dalam maklumat tersebut berisikan bahwa Pemerintah Mangkunegaran akan mengambil tindakan-tindakan yang tegas terhadap golongan orang orang yang:
a.         Menyiarkan berita atau melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengelisahkan atau mengacaukan masyarakat;
b.        Menyiarkan berita atau melakukan perbuatan dengan maksud memecah masyarakat.
c.         Menghambat usaha dalam menyempurnakan pertahanan negara.
Maklumat Mangkunegoro VIII tersebut pada akhirnya memang tidak dapat mengurangi intimidasi dari Gerakan Anti Swapraja terhadap pihak kerajaan. Gerakan Anti Swapraja malah semakin bertambah kuat dan hebat setelah kepolisian daerah Surakarta menyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran serta menyatakan berdiri sebagai bagian dari keanggotaan Kepolisian Republik Indonesia. Hal tersebut kemudian diikuti oleh instansi-instansi yang lain dan akibatnya kekuatan pihak pro swapraja semakin berkurang dan lemah. Setelah pertentangan yang berlarut-larut akhirnya para pemimpin Gerakan Anti Swapraja telah yang berhasil ditangkap. akan tetapi kemudian para pemimpin itu dibebaskan, dan hal itu tetap tidak mengurangi upaya Gerakan Anti Swapraja dalam menentang Pemerintah Swapraja di Daerah Istimewa Surakarta. Gerakan Anti Swapraja juga melakukan berbagai tindakan criminal dengan penculikan di wilayah kabupaten yang di kuasai KRT Reksonegoro yang menjabat sebagai Bupati Boyolali dan RT Condronegoro yang menjabat sebagai Bupati Anom kemudian juga diculik. Penculikan juga dilakukan terhadap Wakil Bupati Klaten RT Pringgonegoro. Setelah menculik pejabat kabupaten, Gerakan Anti Swapraja yang semakin hebat kemudian menggantikan kedudukan bupati-bupati tersebut dan Gerakan Anti Swapraja mengeluarkan pernyataan dan memutuskan hubungan dengan pemerintah Swapraja Surakarta.
D.      Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta
Sejak Presiden Soekarno menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa, berdiri tiga pemerintahan di Surakarta yakni Kasunanan, Mangkunegaran, dan Komite Nasional Daerah (KND). Situasi instabilitas tersebut memunculkan kelompok Pro dan Anti Swapraja. Kelompok Pro Swapraja membentuk organisasi Perkumpulan Kerabat Surakarta (PKS), pendukung PKS sebagian besar adalah masyarakat yang setia dengan pemerintah kerajaan. Sementara itu, kelompok Anti Swapraja muncul dari berbagai kalangan, diantaranya adalah kalangan keraton yang berfikiran modern, aktivis partai-partai politik, seperti PKI, PNI, Murba, PSI, dan organisasi masa seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan PKI dan Barisan Benteng Surakarta. Mereka bersatu dalam Panitia Anti Swapraja (PAS).
Peseteruan kedua kubu membuat pemerintah melakukan sidang kabinet darurat yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Jendral Soedirman, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Dalam sidang tersebut diputuskan untuk membentuk suatu pemerintahan militer di Surakarta. Pemerintahan militer yang dibentuk disebut Pemerintahan Daerah Rakyat  dan Tentara.  Sementara itu, ketegangan di Surakarta masih berlanjut. Surakarta dan Yogyakarta telah dikuasi oleh dua golongan yaitu golongan oposisi yang ada di Surakarta dan Yogyakarta sebagai markas pemerintah.
Dalam sidang luar biasa tanggal 15 Juni 1946 di Purworejo, Badan Pekerja KNIP menerima suatu rencana undang-undang mengenai pernyataan “keadaan darurat”. Pada hari berikutnya, Hatta berangkat ke Surakarta untuk memberitahu militer dan pemimpin-pemimpin politik setempat dan para raja bahwa malam itu Presiden akan mengumumkan keadaan darurat bagi Surakarta. Keadaan darurat di Surakarta benar-benar darurat di saat Syahrir diculik pada tanggal 27 Juni 1946 di kota oposisi ini.
Peristiwa itu mengundang kemarahan Soekarno. Setelah Syahrir dibebaskan, Jendral Sudarsono dan pasukannya menyerang Istana Presiden di Yogyakarta. Namun usaha ini gagal karena kesatuan Pasindo telah bersiap siaga di depan gedung istana. Setelah peristiwa itu pemerintah lebih berhati-hati dengan kelompok oposisi. Menghadapi situasi yang semakin rumit, Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta meminta Pemerintah Pusat yang saat itu berkedudukan di Yogjakarta mengambil tindakan. Maka dilakukan serangkaian pembicaraan antara Wakil Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta yang dipimpin KRMH Woerjaningrat dengan Perdana Menteri Syahrir di Gedung Bank Indonesia Surakarta. Hasil pembahasan dan pembicaraan menyepakati bahwa untuk mengatasi kekacauan, sebagai wakil pemerintah Daerah Istimewa Surakarta, Woerjaningrat mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diambil alih pemerintah Pusat dan bila situasinya sudah aman dikembalikan lagi.
Sebagai realisasi dari usulan Woerjaningrat yang juga tokoh BPUPKI itu, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta.
Pasal kedua Penetapan Pemerintah No 16/SD tahun 1946 itu dinyatakan, “Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura.
Dari Penetapan Pemerintah tersebut sudah terbaca bahwa pengembalian posisi Daerah Istimewa Surakarta kepada pemerintah pusat hanya bersifat sementara. Di samping itu, Daerah Surakarta yang dipandang sebagai Karesidenan masih mempunyai sifat istimewa tercermin dalam kata-kata “Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat” dan secara de yure sifat istimewa tersebut masih terus diakui. Namun, akhirnya Pemerintah RI membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Provinsi Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta (DIS) adalah sebuah provinsi yang pernah ada sejak Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946. Provinsi ini merupakan bagian dari Republik Indonesia yang terdiri atas Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunagaran dan diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara.Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, dimana salah seorang pimpinannya disebut-sebut adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan komunis.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS & menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk & susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta & Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni & budaya Jawa. Keputusan ini berdasarkan Peraturan Presiden tanggal 15 Juli no. 16/SD/1946 yang berbunyi: “Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran untuk sementara waktu dipandang merupakan karisidenan sebelum susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang”.



DAFTAR PUSTAKA
Julianto, Ibrahim. 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Yogyakarta: Malioboro Press.
Ramadan Agndriyanto. 2009. Skripsi. Gerakan Antiswapraja di Surakarta Tahun 1945-1946. TP.
Sukoco. 1990. Skripsi. Revolusi di Surakarta 1945-1950. Surakarta: UNS
Ciptyasari, Devi. 2014. Gerakan Anti Swapraja di Surakarta, dalam “http://deviciptyasari.blogspot.com/2014/03/gerakan-anti-swapraja-di-surakarta.html”, diakses pada 10 Juni 2014. Pukul 12.00 WIB
Didin, Harianto. 2011. Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta, dalam “http://hariantodidin.blogspot.com”, diunduh hari kamis 4 Juni 2014. Pukul 02.00.

Jojo, Joula. 2013. Peristiwa Sejarah Lokal, dalam “http://jhojho-jhoula.blogspot.com/2013/05/peristiwa-sejarah-lokal_7393.html”, diakses pada 10 Juni 2014. Pukul 20.00 WIB