MAKALAH
SEJARAH PERKOTAAN
KOTA-KOTA TRADISIONAL KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan
Dosen Pengampu: Drs. Saiful Bachri, M.Pd
Kelompok
4
1.
Muhafiz
Ghifari Ahmad [K4412049]
2.
Samodra
Bayu [K4412071]
3.
Sigit
Bayu K [K4412072]
4.
Vidia
Ulfa Mareta [K4412078]
5.
Wiwik
Setyaningsih [K4412080]
6.
Anwar
Rohmad Purnomo [K4413009]
7.
Ervina
Sarah Matondang [K4413025]
8.
Fendi
Noveliandika [K4413030]
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
pembawa berkah dan penghancur kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Perkotaan.
Selain itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui lebih
jauh pendirian kota-kota tradisional kerajaan islam di Jawa, struktur kota, pertumbuhan
dan perkembangan kota tradisional, dinamika sosial di dalam kota, serta
bagian-bagian dari kota tersebut.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat
bimbingan dari beberapa pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis
juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Semoga
makalah ini dapat membuktikan bahwa penulis dapat melaksanakan tugas ini dengan
semaksimal mungkin dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan
pada umumnya.
Surakarta, 24 April 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.
Pendirian
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia.............................. 3
B.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia 7
C.
Struktur
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia................................ 10
D.
Dinamika
Sosial Kerajaan Islam Indonesia............................................... 14
E.
Bagian-bagian
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia...................... 18
BAB III PENUTUP............................................................................................. 28
A.
Kesimpulan................................................................................................ 28
B.
Saran.......................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 30
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebelum membahas kota-kota tradisional Kerajaan
Islam Indonesia, kita perlu melihat ke belakang yaitu kota-kota awal Kerajaan
Hindu-Budha, salah satunya Majapahit. Dimana, Maclaine Pont telah
merekonstruksi tata kota Majapahit tersebut ke dalam sebuah peta. Menurut para
ahli, kota di Kerajaan Majapahit itu merupakan akar kota-kota pada masa selanjutnya,
yaitu Islam, karena struktur kotanya bisa dikatakan mirip. Dalam pendirian kota
kerajaan Islam pun, masih banyak dibumbui hal-hal mistis sebagai pengaruh dari
kebudayaan Hindu-Budha yang ada sebelumnya. Dalam kota tradisional Kerajaan
Islam tersebut pasti terdapat keraton, alun-alun, masjid, pasar dan juga tembok
atau biasa disebut benteng. Bagian-bagian kota tersebut memegang peranan
pentingnya masing-masing. Tembok atau benteng digunakan untuk pertahanan
melawan musuh dari luar, pasar digunakan sebagai sumber perekonomian kota, dan
masjid untuk proses Islamisasi.
Dimensi sosial kota tradisional Kerajaan Islam
Indonesia sendiri pun sangat kental, terdapat beberapa golongan seperti Raja
dan keluarga bangsawan, golongan elite, golongan non-elite maupun golongan
budak.
Dalam makalah ini, akan disajikan pembahasan
mengenai pendirian kota tradisional, pertumbuhan dan perkembangan kota,
struktur kota, dinamika sosial dan juga bagian-bagian kota tradisional.
B. Rumusan
Masalah
Dari Latar Belakang Masalah yang sudah dipaparkan di
atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Awal Mula Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
2.
Bagaimana
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
3.
Seperti
apa Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
4.
Bagaimana
Dinamika Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
5.
Apasaja
Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini antara lain:
1.
Untuk
mengetahui Awal Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
2.
Untuk
mengetahui Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam
Indonesia;
3.
Untuk
mengetahui Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
4.
Untuk
mengetahui Dinamika Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
5.
Untuk
mengetahui Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pendirian
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Salah satu hal yang paling menonjol dari kota-kota
tradisional, terutama yang ada di Jawa adanya adanya keraton, alun-alun,
masjid, pasar dan tembok atau pagar keliling (benteng). Pada tataran budaya,
kota tradisional ditandai dengan adanya penggunaan teknologi yang sederhana,
penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas, serta sistem produksi yang masih
didominasi tenaga manusia dan tenaga hewan. Dengan minimnya penggunaan ilmu
pengetahuan tadi menyebabkan proses pembangunan kota tradisional sering
disisipi pemikiran-pemikiran yang tidak rasional atau banyak hal mistis yang
tidak dapat diterima dengan akal pikiran manusia tentang alasan dibangunnya
kota tersebut. Salah satu contoh yaitu dari pembangunan Kota Surakarta pada
masa Susuhunan Pakubuwana II, yang dimulai dari keraton Surakarta. Proses
pemilihan tempat untuk pendirian keraton itu pun didasari oleh alasan-alasan
yang dalam konteks pemikiran masa kini sangat tidak masuk akal. Keraton ini
dibangun pada tahun 1745 Masehi, setelah sebelumnya Keraton Kartasura
dihancurkan oleh para Pemberontak Cina-Jawa pimpinan Sunan Kuning dan Pasukan
Madura pimpinan Cakraningrat IV. Sumber tentang pembangunan keraton ini adalah Babad Giyanti, dimana diceritakan bahwa
Pakubuwana II mengumpulkan para penasehat dan para menterinya untuk memberitahu
niatnya untuk memindahkan ibu kota (pangalih
nagara) yang dihancurkan oleh orang Cina (sirna binasmi dening kang mungsuh Cina).
Pakubuwana II mengirim utusan yang terdiri dari ahli
negara, pujangga, dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok yang akan
digunakan untuk membangun istana baru ke daerah sekitar lembah Bengawan Solo.
Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekuasaan untuk bersama-sama mencari
dan memilih tempat yang cocok untuk istana yang akan dibangun, baik secara
lahiriah maupun batiniah. Utusan tersebut terdiri dari Patih Pringgalaya (patih jawi), Adipati Sindureja (patih lebet), Tumenggung Hanggawangsa
(ahli spiritual), R.T Mangkuyudo (ahli spiritual), R.T Puspanegara (ahli
spritual), dan Mayor Hogendorp (Komandan Garnisun Belanda). Banyaknya ahli
spiritual yang dikirim menunjukkan bahwa porsi untuk hal-hal yang berbau mistis
ini masih sangat kental.
Setelah berjalan beberapa lama, mereka menemukan
beberapa tempat yang cocok untuk dibangun istana. Mayor Hogendorp mengusulkan
tempat di Desa Kadipolo di sebelah timur Bengawan Solo, karena tanah disana
lebih rata sehingga mudah untuk proses pembangunan keraton dan juga lebih
strategis. Tetapi Tumenggung Hanggawangsa mengemukakan bahwa menurut
perhitungannya, jika ibu kota tempatnya di timur Bengawan, maka orang Jawa akan
kembali memeluk agama Budha (tiyang jawi
badhe wangsul Buda malih). Menurut Hanggawangsa daerah Solo-lah yang paling
tepat untuk tempat keraton yang baru. Padahal secara geografis, daerah Solo
kurang bagus untuk sebuah kota karena daerahnya berawa-rawa dan berbukit-bukit,
namun karena menurut perhitungan supranatural daerah itu yang paling cocok maka
raja memilih daerah Solo untuk keraton barunya. Dan setelah keraton dipindah,
nama Solo dirubah menjadi Surakarta.
Perbedaan pendapat antara Mayor Hogendorp dengan
Tumenggung Hanggawangsa menunjukkan pola berpikir yang berbeda antara yang
rasional dengan yang mengedepankan mitos atas pilihan sebuah wilayah untuk
sebuah kota. Dalam proses pembangunan kota-kota tradisional di Jawa pada
khususnya, petunjuk orang pintar, seperti dukun atau ahli nujum lebih
diutamakan daripada persyaratan geografis secara teknik arsitektural dari para
ahli bangunan. Pemberkatan tanah yang akan didirikan kota menjadi sebuah
persyaratan umum agar kelak kota yang dibangun membawa berkah bagi penghuninya.
Pemberkatan tanah ini dilakukan dengan bantuan berbagai benda keramat yang
dialihkan dari keraton terdahulu, yaitu empat pohon beringin yang diambil dari
alun-alun lama, dan Bangsal Pangrawit yang dianggap sangat keramat karena
mengandung bongkahan batu yang dianggap bekas singgasana Hayam Wuruk.
Sesudah utusan Sunan itu melaporkan hasil pencarian,
maka Susuhunan Pakubuwana II memerintahkan Kyai Tohjaya, Kyai Yasadipura I, dan
R.T Padmagara agar segera membangun istana yang baru di Desa Solo. Dalam proses
pembangunan istana tersebut pun masih dibumbui dengan munculnya cerita-cerita
mitos yang kurang rasional. Misalnya, karena daerah Solo merupakan daerah
berawa-rawa dan ternyata terdapat mata air yang cukup besar, maka terlebih dulu
mata air itu harus disumbat. Balok-balok kayu yang besar dimasukkan ke mata air
sampai penuh agar mata air itu berhenti, tapi usaha itu gagal. Sumber air itu
semakin deras dan mengeluarkan jenis ikan laut. Menyaksikan kejadian tersebut
maka Kyai Yasadipura kemudian bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan
dan tidur. Ketika bertapa itulah, ia mendapatkan jawaban dan cara untuk menutup
sumber mata air itu. “Hai kalian yang
bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi
tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya
gunakan cara, gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun talas, dan kepala ronggeng,
cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi
besok sungai itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak dapat berhenti
mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya”. Lalu ia
melapor pada Susuhunan Pakubuwana II yang segera mengurai makna bisikan yang
diterima Yasadipura ketika bertapa.
Menurut Pakubuwana II, tledhek (ronggeng) adalah
10.000 ringgit. Gong Sekar Delima berarti gangsa, bibir atau perkataan. Jadi
bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan
cikal bakal Desa Solo yaitu Ki Gede Solo. Atas pertimbangan itu sepantasnya Ki
Gede Solo menerima ganti rugi uang sebanyak 10.000 ringgit sebagai ganti rugi
penghasilan desa beserta rawa-rawanya yang akan dibangun istana. Demikian
akhirnya Ki Gede Solo mendapat ganti rugi tersebut. Selanjutnya ia bertapa di
Makam Ki Bathang, dan dalam pertapaannya tersebut ia memperoleh Sekar Delima
Seta dan daun talas yang segera dimasukkan ke dalam sumber mata air. Sumber
tersebut kemudian berhenti mengalir, sehingga pembangunan kompleks istana bisa
segera dilakukan.
Proses pendirian Kota Yogyakarta oleh Pangeran
Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I juga tidak jauh berbeda dengan hal-hal
yang berbau mitos serta ramalan. Yogyakarta sebenarnya sudah dikenal sebelum
Kota Yogyakarta didirikan dan dijadikan tempat berdirinya keraton. Wilayah ini
dikenal salah satunya dalam Babad Giyanti, yang mengisahkan bahwa Sunan
Amangkurat telah mendirikan dalem di wilayah itu, yang bernama Gerjiwati, dan
oleh Pakubuwana II kemudian dinamakan Ayodya. Alkisah menurut cerita nenek
moyang, seorang kyai bernama Manganjaya memiliki sebuah buku pedoman ramalan.
Berdasarkan buku itu, ia mengerti bahwa tempat dalam hutan itu kelak akan
menjadi kota. Sejak itu ia mengumpulkan batu-batu bagi istana yang akan
dibangun sebagai tanda bakti kepada raja. Terlepas dari buku ramalan itu,
nampaknya tempat yang kelak menjadi Kota Yogyakarta telah menjadi tempat yang
strategis sejak awal. Ketika Mangkubumi membangun Kota Yogyakarta, tempat ini
bukanlah tempat yang belum dikenal sama sekali. Tempat ini dikenal dengan nama
Hutan Bringan. Mas Garendi (Sunan Kuning) pernah tinggal disana pada 1742, dan
Gubernur Jendral van Imhoft telah mengunjungi tempat itu paad 1744.
Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13
Februai 1755 yang menandai pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu
Yogyakarta dan Surakart. Hutan Bringan mulai dibuka, yaitu di sebuah pedukuhan
yang disebut Pacethokan. Kawasan ini
dibuka untuk membangun istana raja serta rumah-rumah pejabat kerajaan, yaitu
para bupati dan para pangeran. Di dalam Babad Giyanti juga disebutkan bahwa
karena Hutan Bringan merupakan wilayah pemukiman binatang buas, maka ketika
wilayah tersebut dibuka untuk dibangun sebuah kota, binatang-binatang buas
tersebut dipindahkan ke hutan lain atau disingkirkan ke daerah pegunungan. Pada
waktu hutan itu dibuka, slatan untuk sementara bertempat tinggal di Gunung
Gamping. Tempat ini terletak kurang lebih 5 km sebelah barat Yogyakarta
sekarang. Setelah istana selesai maka pindahlah Mangkubumi ke kota yang
kemudian diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat atau dengan sebutan Yogyakarta.
Cerita mitologi juga beredar berkaitan dengan berdirinya
Kota Semarang di Jawa Tengah. Menurut Serat
Kandaning Ringgit Purwa serta Babad
Nagri Semarang, berdirinya Kota Semarang terkait erat dengan keberadaan
Sulan Demak yang kedua. Sultan Demak kedua mempunyai putra yang tidak
menggantikan dirinya menjadi raja di Demak. Ia mempunyai keinginan menyiarkan agama
Islam dan bertempat di Pulau Tirang. Di pinggir daerah itu ia menanam pohon
pandan dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lain yang jarang-jarang
(arang: Jawa). Oleh karena itu, Sultan Demak menamakan putranya dengan nama Ki
Pandan Arang. Di kemudian hari, daerah yang dibuka oleh Ki Pandan Arang
berangsur ramai dan dinamai Semarang. Ki Pandan Arang kemudian menjadi bupati
pertama di kota ini, dan bergelar Kanjeng Pangeran Pandan Arang Semarang. Nama
Semarang diambil dari kata asem dan arang, kata ini diambil karena pada waktu
itu di daerah itu terdapat banyak pohon asam yang jarang-jarang (arang). Sampai
saat ini di beberapa sudut Kota Semarang masih banyak terdapat pohon asam.
Munculnya mitos-mitos dalam proses pendirian kota
pada periode kota tradisional sebenarnya merupakan cerminan ketidakberdayaan
pikiran manusia pada waktu itu untuk menerjemahkan situasi di sekeliling mereka
dengan nalar yang rasional. Hampir semua lokasi pendirian kota pada awalnya
merupakan kawasan kosong, hutan-hutan, atau tanah berawa-rawa. Pada waktu itu
sangat jarang masyarakat Jawa yang menguasai ilmu bumi, ilmu geografi, geologi,
ilmu pengairan, atau landasan ilmiah yang lain. Sehingga jalan keluar untuk
menterjemahkan kondisi di sekeliling mereka menggunakan nalar yang tidak
rasional (dalam konteks pikiran masa kini).
B. Pertumbuhan
dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia (Kota pusat kerajaan
dan kota diluar pusat kerajaan)
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia, daerah Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Palembang, Jambi, Malaka, Demak,
Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Gowa, Banjarmasin sudah dapat
dikatakan sebagai kota. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat yang berfungsi
sebagai kota pusat kerajaan dan sebagai kota kadipaten maupun kota pelabuhan.
Dilihat dari letak georgafis kota-kota pusat kerajan
yang bercorak Islam umumnya berada di pesisir-pesisir dan di muara
sungai-sungai besar. Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Demak, Banten, Ternate, Gowa,
Banjarmasin merupakan kota pusat kerajaan yang bercorak maritim, sedangkan Pajang
dan Surakarta merupakan kota pusat kerajaan yang bercorak agraris. Dilihat dari
sudut ekonomi dan militer terdapat perbedaan antara kota pusat kerajaan yang
bercorak maritim dan yang bercorak agraris.
Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih
menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan, hal ini merupakan suatu ciri
yang berhubungan dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam
masyarakat kota bercorak maritim. Sedangkan kekuatan militernya lebih
dititikberatkan pada angkatan laut, suatu ciri penting pula dan erat
hubungannya dengan suasana politik serta perluasannya. Sedangkan masyarakat
kota agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada pertanian
dan untuk kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan darat.
Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pusat
kerajaan disebabkan beberapa faktor. Lokasi kota-kota pusat kerajaan di pesisir
dan di muara sungai, merupakan faktor geografis yang penting untuk hubungan lalu
lintas. Menurut Charles M. Cooley bahwa hubungan lalu lintas itulah yang
menjadi sebab utama lokasi kota-kota besar di muara atau pertemuan
sungai-sungai. Hubungan lalu lintas melalui sungai-sungai serta lautan dengan
mempergunakan perahu dan kapal pada waktu itu dianggap lebih tepat, cepat dan
mudah.
Hubungan-hubungan antar kota, baik di daerah
Indonesia sendiri maupun dengan kota-kota di luar Indonesia, merupakan faktor
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota-kota itu sendiri. Misalnya saja
pertumbuhan dan perkembangan kota Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Palembang dan
Malaka di Selat Malaka, ini karena tempat-tempat tersebut terletak di sepanjang
selat yang penting bagi lalu lintas perhubungan dan perdagangan. Selata Malaka
merupakan salah satu urat nadi pelayaran dan perdangangan internasional yang
menghubungkan bagian barat, tenggara dan timur Benua Asia.
Sejak pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa
dengan munculnya kota pusat kerajaan Demak dan kota-kota pelabuhan Jepara,
Tuban, Gresik, Sedayu, terbentuklah rangkaian kota-kota pelabuhan yang pada
saat itu memungkinkan perkembangannya. Hal ini antara lain karena kunci
pelayaran dan perdagangan yang terbentang antara lain Selat Malaka melalui
pasisir utara Jawa sampai Maluku sebagian besar berada ditangan
pedagang-pedagang muslim. Tumbuhnya kota-kota pusat kerajaan di Jawa Barat
seperti Cirebon, Jayakarta, Banten membentuk pula jalinan perhubungan,
pelayaran, perekonomian dan politik dengan Demak, sebagai pusat kerajaan besar
pada abad ke-16.
Pertumbuhan dan perkembangan kota pun juga
dipengaruhi oleh faktor politik. Misalnya saja pusat kerajaan yang bercorak Islam
di pesisir utara Jawa, di pesisir Selat Malaka dan di beberapa daerah lainnnya.
Demak muncul sebagai kota pusat kerajaan karena usaha Raden Patah yang berhasil
menghimpun kekuatan masyarakat yang kemudian berhasil menaklukkan Majapahit
yang sudah lemah akibat konflik di dalam keluarga kerajaan. Kota Cirebon
berkembang mungkin karena penguasanya berhubungan politik dengan Demak bahkan menjadi
bagian Demak.
Selain karena faktor politik, ekonomi dan geografi,
pertumbuhan beberapa kota di Indonesia mungkin tidak dapat dilepaskan dari
faktor yang berhubungan dengan kosmologi serta faktor magis-religius. Hubungan
antara pendiri suatu pusat kerajaan dengan kosmologi bukan hanya dalam pendiri
suatu kerajaan saja tetapi juga dalam penobatan raja, gelar raja-ratu,
menteri-menteri, pendeta-pendeta, pembagian provinsi, upacara-upacara adat,
dalam pekerjaan seni pembuatan denah kota dan struktur ibu kota atau pusat
kerajaan. Tumbuhnya kota pusat kerajaan Demak di Bintara menurut Babad Tanah
Jawi ialah atas petunjuk Sunan Ampel. Diramalkan oleh Sunan Ampel bahwa Demak
Bintara akan menjadi kerajaan besar di Jawa. Selain itu pendirian kota
Surosowan sebagai ibu kota kerajaan Banten ialah atas petunjuk dan nasihat
Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanudin. Selain itu dinasihatkan agar watu
gilang yang ada di tengah kota tidak boleh digeser, karena pergeseran tanda
keruntuhan bagi kerajaan. Unsur-unsur lain yang berhubungan dengan kosmologi
ialah pemberian gelar beberapa orang raja atau sultan. Di daerah bekas kerajaan
Samudra Pasai yaitu di Menunasah Pi, Gampong Geudong, terdapat nisan kubur yang
memuat nama Maulana Abdul-Rahman Taju’l Daulah Qutbu’l Ma’ali-al Fasi. Nama
yang memakai gelar tersebut mengingatkan kita kepada Susuhunan Pakubuwono,
Cakraningrat, Paku Alam dan sebagainya.
C. Struktur
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya yang
mengutip Sadjarah Banten menunjukkan bahwa kota-kota tradisional di Indonesia,
terutama pusat pemerintahan berdiri dengan sebuah perencaan yang teratur dengan
syarat-syarat yang mutlak, yaitu rumah untuk raja (keraton), alun-alun, pasar,
serta masjid. Ada perbedaan yang mencolok antara kota-kota pantai yang
merupakan bandar dengan kota-kota yang ada di pedalaman yang merupakan kota
agraris. Sebagai contohnya yaitu kota Banten dan kota Yogyakarta.
Banten merupakan tipologi kota bandar yang berdiri
pada zaman perdagangan. Struktur kota ini sangat kontradiktif dengan kota di
pedalaman Jawa. Kota ini berdiri menghadap ke laut yang dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan dari pelayaran, sehingga kota ini tumbuh dengan cepat
menjadi kota metropolis-kosmopolis. Namun, kota ini dibangun dengan sangat
semrawut dan tidak teratur, yang sebagian besar disebabkan dari masuknya orang asing yang sebagian besar
merupakan pedagang. Kehadiran mereka yang bergelombang mengakibatkan mereka
hidup berkelompok sesuai etnisnya, ini mengakibatkan kesulitan dalam
pengawasannya.
Willem Lodewycksz dalam laporan perjalanannya pada
1598 menggambarkan suasana kota Banten saat itu. Menurutnya kota Banten terbagi
menjadi beberapa bagian, dan di setiap bagian ditempati oleh Bangsawan untuk
melindungi kota pada saat perang, kebakaran, atau apa saja. Rumah mereka
terbagi menjadi beberapa ruang yaitu paseban yang merupakan ruang persegi yang
berfungsi sebagai tempat penerima tamu atau orang yang menghadapnya yang di
jaga oleh sepuluh sampai dua belas orang
yang berjaga. Mereka juga memiliki lapangan yang disudutnya terdapat masjid dan
sumur. Lebih ke dalam lagi terdapat sebuah pintu dengan jalan yang sempit yang
diperkuat dengan kedai dan toko yang merupakan tempat budak mereka berdiam
untuk melindunginya.
Untuk menunjukkan kesemrawutan kota Banten lebih
lanjut Lodewycksz mengemukakan bahwa di kota Banten hanya terdapat tiga jalan
yang layak, yang ketiganya menuju ke paseban, jalan tersebut yaitu pertama dari
paseban ke laut, kedua ke gerbang menuju pedesaan dan yang ketiga ke
pegunungan. Jalan disana tidak diperkuat, kotanya becek, kotor, dan berbau.
Pola susunan kota yang di benteng ini dan yang
didalamnya para pembesar dikelilingi oleh istri, budak dan orang yang
bergantung padanya ditiru di kota-kota lain, seperti Makasar, di Jawa, dan
Bali. Dengan demikian benteng menjadi ciri khas keberadaan sebuah kota, apalagi
pada abad ke-16 dan ke-17 benteng tersebut digunakan untuk mempertahankan kota
dari serangan angkatan laut bangsa Eropa. Pada 1600 kota-kota di Jawa seperti
Banten, Jepara, Tuban, Pati, dan Surabaya semuanya memiliki pagar. Pada 1634
orang Makassar membangun tembok sepanjang 10 km untuk mempertahankan kota dari
serangan Belanda dari laut.
Keberadaan tembok yang mengelilingi kota atau
benteng menjadi ciri kota-kota pada masa lampau. Namun, ada juga kota-kota yang
tidak berbenteng. Kota-kota besar Melayu seperti Malaka, Aceh, Johor, dan
Brunei tidak memiliki dinding kota sama sekali, kecuali pagar pertahanan dari
bambu yang dibangun untuk pertahanan sementara. Hal ini terkadang dianggap aneh
oleh para pedagang dari luar.
Kota tradisional Jawa sebagian besar dibangun dengan
merujuk kepada konsep-konsep tertentu yang baku. Dengan demikian kota-kota
tradisional Jawa memiliki tipologi yang mirip antara satu dengan lainnya, untuk
melihat tipologi tersebut kita harus melihat keraton sebagai kediaman raja-raja
Jawa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Inilah yang menjadi rujukan kota-kota
lain yang secara tradisional berstatus lebih rendah seperti kota kabupaten
dimana tinggal seorang bupati. Dalam konsep tradisional jawa, orang Jawa
menyebut kawasan keraton sebagai nagara atau nagari. Nagara sebenarnya konsep
yang sudah sangat lama dikenal di Indonesia dan dianggap sebagai pengaruh
Hindu. Nagara sebagai suatu bentuk kekuasaan politis di Indonesia sudah di
kenal setidak-tidaknya sejak abad ke-5. Dengan konsep nagara organisasi sosial
politik dan ekonomi pemukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas
beberapa desa. Sebagaimana dikutip oleh Wiryomartono, nagara adalah daerah
tinggal yang dapat dicapai dari desa-desa sekelilingnya tanpa harus melintasi
sawah.
Di Jawa selain mengenal konsep nagara dikenal pula
konsep kuta. Kedua konsep tersebut pengertiannya sama dimana nagara merupakan
kawasan yang didalamnya tinggal seorang raja, sedangkan kuta merupakan kawasan
yang lebih umum dimana daerah tersebut tanpa harus dihuni oleh seorang raja.
Menurut Wiryomartono, kuta secara harfiah berarti daerah pemukiman yang
dilindungi oleh dinding yang dibangun mengeliling menurut bentuk pasagi
(persegi). Dinding ini digunakan sebagai garis batas dhalem untuk melindungi teritorialnya sekaligus memberi definisi
luar dan dalamnya kehalusan dalam berkrama. Untuk menyebut kuta yang menjadi
kawasan tempat tinggal raja (nagara), di Jawa muncul konsep kutagara. Kutagara
merupakan kawasan inti dimana berdiri rumah raja (keraton) yang merupakan pusat
kekuasaan.
Kota tradisional Jawa dibangun dengan mengacu kepada
raja sebagai titik puncak piramida kekuasaan. Menurut Denys Lombard yang
mengacu kepada para ahli yang mempelajari konsep kuna tentang kekuasaan raja di
Asia Tenggara. Di Jawa konsep bahwa raja sebagai pelaku utama yang bertugas
mempertahankan keserasian antara mikrokosmos
dengan makrokosmos (jagat raya)
diaktualisasikan dalam bentuk pemujaan terhadap gunung-gunung yang dikaitkan
dengan diri sang raja. Raja Yogyakarta dan Surakarta memuja keberadaan Gunung Merapi.
Perilaku Gunung Merapi selalu dikaitkan dengan keberadaan Keraton Yogyakarta.
Dengan mengacu pada keyakinan ini maka Kota Yogyakarta dibangun menghadap ke
arah utara ke arah Gunung Merapi serta membelakangi Laut Selatan. Hal ini juga
berlaku untuk kearton lain, letak keraton-keraton di Jawa pada umumnya
menghadap ke utara, seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, Keraton
Banten di Surosowan dan mungkin Keraton Demak, Yogyakarta dan Surakarta.
Kompleks bangunan yang termasuk keraton biasanya dipisahkan dari
bangunan-bangunan lainnya oleh tembok keliling, parit atau sungai buatan.
Sehingga untuk mencapai tempat terpenting yang dinamakan “dalem” atau dalam itu
tidak mudah.
Bangunan-bangunan di kota-kota, baik bahan maupun
bentuknya seringkali menunjukkan perbedaan. Untuk bangunan keraton sebagian
mempergunakan bahan-bahan batu bata, terutama pagar keliling, dinding-dinding
dan bagian-bagian fondasi. Meskipun demikian, sebagian besar bangunan dibuat
dari kayu dan bahan-bahan lain yang tahan lama. Dan untuk atapnya dibuat dari
genting atau sirap.
Apabila di kota-kota pusat kerajaan atau kota-kota
pelabuhan di Jawa, rumah-rumahnya sudah banyak yang tidak berpanggung, maka
pada waktu itu di kota-kota lainnya masih banyak rumah yang didirikan di atas
tiang-tiang yang tinggi. Seperti halnya di Aceh dan Ternate serta di Kalimantan
dan Sulawesi. Hal ini terjadi karena setiap kali musim penghujan tiba selalu
terjadi banjir yang melanda kota.
Kota tradisional Jawa secara fisik memiliki
kemiripan, seperti kota Yogyakarta dan Surakarta yang rancangannya memiliki
persamaan sebagai tipologi kota Jawa. Kawasan yang harus ada dalam rancangan
tersebut yaitu keraton , masjid, penjara, serta pasar.
Kota Yogyakarta adalah salah satu tipologi kota
Jawa. Kota ini merupakan Ibu Kota Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat, yang
merupakan pecahan dari kerajaan Mataram. Yang mendirikan Kota ini adalah Pangeran
Mangkubumi yang kelak bergelar Hamengkubuwono I dan menjadi raja pertama
Kerajaan Yogyakarta. Pembentukan kota ini tidak bisa lepas dengan kolonialisme
(VOC) yang memiliki andil besar dalam proses pendiriannya.
Kota ini dibangun dengan diawali pembangunan benteng
keraton dengan penghuni awal adalah sultan (raja/pemimpin kerajaan), para
bangsawan yaitu para staf kerajaan, dan abdi dalem yaitu para pegawai rendah di
kerajaan yang merupakan penghuni kawasan
jeroh benteng. Di luar benteng terdapat pasar gede yang letaknya di utara
benteng kompeni (Fort Vredeburg) yang keduanya menghadap ke arah jalan raya
yang menghubungkan alun-alun dengan sebuah tugu yang jaraknya dari keraton
sekitar 2 km. Jalan raya tersebut kemudian menjadi jalan protokol yaitu jalan
Malioboro. Di sepanjang jalan itu pemerintah Belanda menempatkan pertokoan
Cina, sehingga kampung di belakangnya dinamakan Pecinan.
Di sebelah kiri alun-alun jika dilihat dari depan
keraton terdapat Masjid Agung. Masjid dalam tradisi Jawa merupakan rujukan-rujukan
bagaimana kegiatan religius yang terorganisir diberi tempat bagian pusat
kekuasaan. Kampung di sekitar masjid agung dinamakan Kampung Kauman. Disebut
kampung kauman karena di kampung tersebut berdiam seorang pegawai keraton yang
khusus mengurusi kegiatan keagamaan (Islam) yang disebut penghulu keraton.
Masyarakat awam menyebut penghulu dengan sebutan “kaum”, sehingga tempat
tinggal mereka disebut Kampung Kauman.
D. Dimensi
Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Perkembangan kota-kota di Indonesia,
kita juga dapat melihatnya dengan menggunakan perspektif evolusioner.
Persepektif ini hanya dapat digunakan untuk melihat karakteristik kota-kota
berkaitan dengan budaya dan politik yang berkembang dalam kota tersebut,
sekaligus pengaruh budaya dan politik itu terhadap perkembangan fisik kota.
Perspektif ini untuk konteks kota-kota di Indonesia bisa dimulai dengan kota
tradisional, kota kolonial, dan kota pasca-kolonial (kemerdekaan). Penggunaan
kategori kota pra-industial dan kota industrial nampaknya tidak tepat untuk
kota-kota di Indonesia, mengingat munculnya kota-kota industri di Indonesia
kebanyakan tidak diawali dari kota pra-industrial terlebih dahulu.
Banyak kota di Indonesia yang tidak
berubah dari kota pra-industrial ke kota industri, tetapi banyak juga kota yang
tiba-tiba menjadi kota industri. Contohnya yaitu Yogyakarta, yang sampai saat
ini tetap tidak menjadi kota industri. Walaupun keberadaan keraton dan raja
hanya sebagai simbol, tetapi sebagian masayarakat Yogyakarta pinggiran keberadaan
dua hal tersebut tetap dianggap sebagai keraton dan raja yang sebenarnya bagi
mereka. Kata-kata Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Raja Yogyakarta tetap
mereka percaya sebagaimana kata-kata raja yang sebenarnya. Sementara itu, Kota
Cikarang di Bekasi tiba-tiba tumbuh menjadi kota industri tanpa didahului dengan
keberadaan kota praindustri. Demikian juga dengan banyak kota industri lainnya
di Indonesia yang tiba-tiba tumbuh karena masuknya pemodal yang menanamkan
modalnya dalam sektor industri. Oleh karena itu akan lebih baik apabila kita
mengkategorikan kota-kota di Indonesia dengan kategori kota tradisional
(kota-kota prakolonial), kota kolonial dan pascakolonial (kota masa Indonesia
merdeka).
Dalam meninjau kota-kota tradisional
kita bisa menggunakan “pisau analisis” sosiologi, analisis budaya, serta
analisis arsitektur. Analisis sosiologi kita gunakan untuk melihat relasi sosial
dan sifat-sifatnya antar penghuni kota. Menurut persepektif sosiologi, istilah
kota tradisional bisa disejajarkan dengan istilah kota pra-industri. Penyebutan
kota pra-industri atau kota tradisional dimaksudkan untuk membedakan dengan
ciri-ciri spesifik sebuah kota industri atau kota modern. Gideon Sjoberg adalah
seorang ahli perkotaaan yang menekankan perbedaan antara kedua kota tersebut.
Dalam bukunya The Preindustial City, Past
and Present, Sjoberg membedakan tipe masyarakat berkaitan dengan
perkembangan sebuah kota. Menurutnya masyarakat dibagi dalam tiga tipe, yaitu pertama, the falk/preliterate society; kedua, the feudal/preindustrial
civillized/literate preindustrial society dan ketiga, the industrial urban society. Namun bagi Sjoberg, berkaitan
dengan perkembangan sebuah kota, hanya terdapat dua tipe masyarakat yang
terakhir. Karena menurutnya tipe masyarakat yang pertama hanya terdapat di
wilayah-wilayah bukan perkotaan.
Secara umum terdapat perbedaan-perbedaan
yang nyata antara kota tradisional (kota pra-industri) dan kota modern (kota
industri). Kota-kota tradisional kebanyakan merupakan pusat kegiatan-kegiatan
pemerintahan serta keagaamaan dan bukan merupakan pusat kegiatan komersial.
Kunci kehidupan kota terletak di tangan sejumlah elite yang memperoleh
kekuasaan karena menguasai serta mengendalikan kunci-kunci
organisasi-organisasi pemerintahan, keagamaaan serta pendidikan. Mereka
dimungkinkan untuk mempertahankan posisinya oleh berbagai faktor dan keadaan.
Salah satu faktornya adalah penciptaan simbol-simbol yang bisa berupa mitologi
yang mendorong terbentuknya kepercayaan pada rakyat bahwa raja adalah keturunan
dewa (konsep dewaraja). Sartono Kartodirdjo, dalam masyarakat
tradisional/praindustrial struktur kekuasaan berkaitan erat dengan sistem
kepercayaan, sebab nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat
itu bersumber pada sistem tersebut. Orde sosial sebagai sub orde dari
kosmis-magis berdasarkan prinsip religius, kekuasaan bersumber dari kekuatan
supranatural. Tidak mengherankan apabila penguasa atau pemimpin dalam
masyarakat tradisional memegang kekuasaan yang dualistik, yang duniawi dan yang
rohaniah. Keduanya “manunggal” di
satu tangan. Konsep kekuasaan seperti ini dalam banyak hal mempengaruhi
struktur kota-kota tradisional.
Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam sudah
muncul beberapa kota yang sudah dapat maju, salah satu ciri sebagai wilayah
yang dikatakan maju adalah sudah adanya pembagian kerja yang kontras, bahkan
adanya lapisan-lapisan masyarakat. Maka dalam penggolongan masyarakat kota-kota
zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di
Indonesia dibagi atas: (1) Golongan raja-raja dan keluarganya, (2) Golongan
elite, (3) Golongan nonelite, dan (4) Golongan budak. Pembagian golongan atau lapisan penduduk kota
seperti tersebut tidak lain untuk lebih memungkinkan keleluasaan
mengklasifikasikan golongan pejabat pemerintahan, ulama, tukang-tukang,
pedagang serta petani.
Di antara segi-segi tradisi yang
memungkinkan golongan elite mempertahankan posisinya adalah usaha golongan
elite untuk menciptakan jarak yang jauh dan tajam antara mereka dengan
masyarakat lapisan bawah. Perbedaan anatar lapisan bawah dan lapisan elite
terlihat dari beberapa segi yaitu seperti cara berpakaian serta jenis
pakaiannya, cara berbicara, tingkah laku dan lain-lain. Dalam budaya Jawa tempo
dulu, terutama pada zaman kerajaan, lawan bicara dan situasi pembicaraan
menjadi faktor penentu atas pilihan bahasa yang digunakan. Para ahli bahasa
mengatakan bahwa struktur bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat dan sangat
memperhatikan situasi dan lawan bicara
adalah rekayasa Sultan Agung. Rekayasa bahasa ini dimaksudkan agar golongan
elite bisa melanggengkan perbedaan dengan golongan masyarakat bawah. Segi lain dari
tradisi yang memungkinkan mereka mempertahankan posisinya ialah keadaan yang
serba ascriptive, yakni bahwa segala
sesuatu diperoleh lewat warisan, terutama yang menyangkut mata pencaharian dan
status. Raja dan para bupati memperoleh jabatan karena warisan orang tuanya.
Kelas sosial yang nampak dalam masyarakat feodal, baik identitas maupun
perbedaannya adalah antara sejumlah kecil golongan elite dengan sejumlah besar
lapisan bawah. Golongan terakhir yaitu kelas bawah dapat dikatakan tidak ada,
atau kalau ada pun sangat tidak berarti dan tidak mampu mempengaruhi sebuah
perubahan. Apabila seseorang dari kelas bawah menjadi sangat menonjol, maka
orang tersebut akan dimasukkan ke dalam golongan elite. Gejala seperti ini
misalnya dialami oleh pedagang-pedagang yang menjadi sangat kaya. Bisa
dicontohkan yaitu para juragan perak di Kotagede, Yogyakarta. Mereka awalnya
berasal dari kelompok sosial bawah, tetapi karena mereka berbisnis maka mereka
menjadi kaya dan kedudukannya naik hampir sama dengan golongan elite tradisional
lainnya. Contoh lain yaitu keluarga Asnar dan Jaelan di Gresik. Mereka juga
dari kelas bawah, namun karena mereka berwiraswasta, mereka menjadi kaya.
Dengan kejayaannnya mereka dapat bersahabat dengan Raja Solo. Mereka adalah
elite baru yang mengalami mobilitas vertikal karena kekuatan ekonomi yang
mereka miliki.
E. Bagian-bagian
Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
1.
Tembok
Kota (City Wall)
Tembok kota ( City Wall ) merupakan salah satu ciri
dari kota tradisional di berbagai tempat didunia. Pendirian tembok kota
berkaitan dengan kepercayaan bahwa kota harus mampu menjadi tempat tinggal raja
yang nyaman dan aman. Akan tetapi di kota-kota modern, tembok kota jarang
ditemui karena keamanan kota modern tidak tergantung pada keberadaan tembok
kota, tapi pada kepolisian.
Pada kota
tradisional yang menjadi pusat kerajaan, kota harus menjadi tempat yang aman
bagi raja karena raja merupakan sentral dari kekuasaan yang harus dilindungi
keamanannya. Jika raja sampai terbunuh oleh musuh ataupun oleh pemberontak maka
hal tersebut akan menjadi aib bagi kerajaan yang bersangkutan karena tidak
mampu melindungi rajanya. Dengan alasan tersebut maka ibu kota kerajaan
biasanya memiliki pengamanan yang standar, salah satunya adalah dengan menembok
kota secara berkeliling. Tembok kota/city
wall menjadi penanda unik dari hampir semua kota yang merupakan bekas ibu
kota kerajaan tradisional.
Di Jawa, tembok
kota dikenal dengan istilah beteng/
benteng sehingga di Yogyakarta terdapat tempat yang disebut Pojok Beteng (kulon
dan wetan). Kota Seoul di Korea merupakan salah satu kota yang juga memiliki
tembok kota yang dalam bahasa setempat disebut eupseong. Eupseong juga memiliki fungsi yang sama dengan benteng di
Keraton Yogyakarta yaitu untuk melindungi istana raja. Seoul yang pada zaman
dahulu bernama Hanyang dan Yogyakarta merupakan kota tradisional yang pernah
sama-sama menjadi ibu kota kerajaan.
Mengacu kepada
keberadaan tembok kota, maka kota tradisional didefinisikan sebagai daerah
pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengelilingi menurut
bentuk pasagi (persegi). Keberadaan dinding ini digunakan sebagai garis batas
untuk melindungi teritorial sekaligus memberi definisi luar dan dalamnya
kehalusan dalam bersikap.
Di Jawa terdapat
beberapa kota yang memiliki dan diidentifikasi pernah memiliki tembok kota, dan
sampai saat ini dibeberapa bagian masih terawat dengan baik adalah kota Seoul.
Berbeda dengan tembok kota di Jawa yang bentuknya pasagi, tembok kota Seoul
berbentuk tidak beraturan karena mengikuti geografi kota yang bersangkutan.
a.
Berawal dari konflik
Kerajaan-kerajaan di Indonesia bisa
dikatakan berawal dari konflik, karena tidak adanya peraturan tentang raja
sehingga raja merupakan pusat segala pemerintahan dan ketika raja yang
berpengaruh besar tadi wafat, dengan tidak meninggalkan putera mahkota yang
sah, maka akan ada percekcokan antara putera-putera raja tersebut. Karena
mereka merasa berhak atas tahta kerajaan. Seperti pada konflik Keraton Mataram
Islam yang menyebabkan pecahnya keraton menjadi dua bagian yaitu Keraton Surakarta
dan Yogyakarta.
Kerajaan mataram awalnya didirikan oleh
Ki Gedhe Pamanahan, yang kemudian memiliki keturunan Senapati Ingalaga, pada
masa Senapati ini Mataram mampu melakukan ekspansi-ekspansi keluar wilayah Mataram
sehingga memiliki banyak daerah taklukan dan wilayah Mataram juga semakin luas.
Kemudian pada masa cucunya penklukan-penaklukan wilayah juga semakin gencar,
yakni Sultan Agung. Sultan Agung adalah raja yang memiliki kemampuan militer
yang kuat. Namun pada akhir masa pemerintahannya kerajaan Mataram menjadi
sangat rapuh dengan pemberontakan dimana-mana oleh para putera mahkota. Dari
sini mulai muncul kekuatan-kekutan baru di Mataram. Pemerintahan Amangkurat I
mendapat serangan dari Trunajaya, pangeran dari Madura. Amangkurat I harus lari
keluar dan meninggal dalam pelarian di sebelah selatan kota Tegal. Kondisi
peperangan sebagian besar hampir dapat dimenangkan oleh Trunajaya. Namun karena
Amangkurat II meminta bantuan kompeni, kemenangan di tangan Amangkurat II.
Pada 1680, Amangkurat II memindahkan Ibu
kota Mataram ke Pajang yang kemudian diberi nama Kartasura. Namun, oleh
saudaranya yaitu Pangeran Puger tidak mau mengakui keberadaan ibu kota baru Mataram
tersebut. Ia masih bertahan di ibu kota yang lama dan menyatakan memberontak
kepada saudaranya, Amangkurat II. Atas kejadian ini Pangeran Puger di usir oleh
VOC, diketahui juga Amangkurat II lebih condong meminta bantuan pada kompeni
sehingga ia sering disebut anak kompeni.
Dalam waktu yang relatif singkat
Pangeran Puger dapat menghimpun lebih dari 10.000 pasukan untuk merebut Mataram
ke tempat asal. Namun lagi-lagi campur tangan VOC ada disini maka Pangeran Puger
dapat dipukul mundur dan terpaksa harus mengakui kepemimpinan Amangkurat II.
Setelah Amangkurat II wafat digantikan
oleh Amangkurat III. Pada saat itulah perselisihan warisan yang melibatkan
Pangeran Puger meletus kembali. Dengan memanfaatkan situasi, Pangeran Puger
mengaku sebagai penerima tahta yang sah atas Mataram kepada VOC, kemudian ia
mendapatkan restu dari VOC untuk menduduki singgasana Mataram dengan gelar Pakubuwono
I. Pada masa kekuasaannya ada beberapa daerah juga muncul pemberontakan,
kekuasaannya melemah, bahkan hampir seluruh rakyat meninggalkannya dan hampir
seluruh Jawa memusuhinya. Pakubuwana I wafat 1719 kemudian tahta kerajaan
digantikan oleh puteranya dengan gelar
Amangkurat IV. Kemudian Amangkurat IV meninggal pada 1726 dan digantikan oleh
anaknya yang masih belia dengan gelar Pakubuwana II.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono II
kekacauan semakin menjadi di ibukota kerajaan Mataram di Kartasura. pemberontakan
terus menerus terjadi baik yang dilakukan oleh saudara raja maupun oleh
vassal-vasalnya. Salah seorang saudaranya adalah Mas Said. Merasa ibu kota
Kerajaan Mataram sudah tidak aman, Pakubuwono II memindah ibukota kerajaan di
tepi sungai desa Solo. Yang kemudian berganti nama menjadi Surakarta. Yang
merupakan kebalikan nama dari ibukota yang sebelumnya, Kartasura.
Pakubuwono II wafat, kemudian di
gantikan oleh Pakubuwono III. Merasa berjasa dan dijanjikan kekuasaan oleh Pakubuwono
II, Pangeran Mangkubumi kecewa karena janji tersebut tidak terlaksana. Maka
Pangeran Mangkubumi memberontak kepada Mataram. Menghadapi pemberontakan antar
saudara sering terjadi, maka VOC sebagai pihak ketiga turut ikut campur dalam
permasalahan ini. Dengan puncak Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, maka
Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, timur dan barat. Pakubuwono III tetap
mendapatkan wilayah di Surakarta dan Sultan Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan
Hamengkubuwono I mendapatkan wilayah baru di Yogyakarta.
b.
Mendirikan kota,
membangun tembok dan benteng
Pembangunan benteng pada kerajaan-kerajaan
di Jawa memiliki fungsi utama yakni melindungi keraton dari serangan musuh.
Oleh sebab itu, pembangunan benteng hanya di wilayah keraton tidak untuk
wilayah kerajaan seperti di Cina ataupun Korea.
Salah satu benteng yang digunakan untuk
melindungi keraton adalah di kota Yogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti, Sultan
Mangkubumi yang mendapatkn wilayah sebelah barat dengan membuka Hutan Bringan
dan menjadikan wilayah tersebut sebagai ibu kota kerajaan dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat. Bangunan pertama yang di bangun di wilayah tesebut adalah keraton
sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. Pada tanggal 1756,
Mangkubumi pindah dari Pansanggrahan Gamping ke keraton. Sebagai tanda dari
kepindahannya tersebut adalah adanya candrasengkala yang berbunyi “dwi naga rasa tunggal” diartikan 1682 Saka
atau 1756 Masehi.
Kompleks utama keraton luasnya kurang
lebih 4000 m2 yang dikelilingi gedung-gedung yang memiliki fungsi
yang berbeda-beda. Sebagai sultan yang dulunya merebut kekuasaan tentunya
memiliki perasaan was-was terhadap musuh, oleh sebab itu tembok keraton dibuat
tinggi selain sebagai pembatas antara raja dengan rakyat juga sebagai benteng
keluarga raja dari serangan musuh.
c.
Struktur
benteng kota
Jika melihat pola struktur benteng
antara eupseong di Hanyang dan beteng di Yogyakarta, terdapat kesamaan
fungsi yaitu sebagai benteng pertahanan jika sewaktu-waktu kota mendapatkan
serangan dari pihak musuh. Akan tetapi, dari segi struktur dan makna, kedua
benteng tersebut memiliki perbedaan.
Gambar:
Benteng Keraton Yogyakarta (garis tebal)
Benteng keraton Yogyakarta memiliki lima
pintu yang disebut plengkung, karena
bentuknya melengkung setengah lingkaran. Kelima plengkung benteng keraton
Yogyakarta antara lain sebagai berikut:
1) Plengkung Tarunasura
atau Plengkung Wijilan berada di sisi
utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau
Kadipaten. Kata tarunasura berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura 'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani.
2) Plengkung Jagasura
atau Plengkung Ngasem berada di sisi
utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah
mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura
'berani'. Dengan demikian, Plengkung
Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk) kompleks
keraton yang melambangkan rasa keberanian.
3) Plengkung Jagabaya
atau Plengkung Tamansari yang
terletak di sebelah barat. Saat ini, Plengkung
Jagabaya ini sudah berubah menjadi gapura. Kata jagabaya berarti menjaga marabahaya.
4) Plengkung Madyasura
yang disebut pula Plengkung Tambakbaya
atau Plengkung Gondomanan yang
terletak di sebelah timur, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang
menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet,
karena pernah ditutup menjelang serangan bala tentara Inggris pada tahun 1812.
Kata tambakbaya berasal dari dua
unsur kata yakni tambak 'segala
sesuatu yang dijadikan penghalang air' dan baya
'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut
dimaksudkan sebagai penghalang marabahaya.
5) Plengkung Nirboyo
atau Plengkung Gadhing yang terdapat
di sisi selatan. Saat ini masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah
sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di
Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang
disebut kala sebagai simbol pelepasan
mangkatnya sang raja. Kata nirbaya
berasal dari dua unsur kata yakni nir
'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'.
Dengan demikian, Plengkung Nirbaya
mempunyai arti jalan keluar masuk ke keraton tanpa bahaya, maksudnya ialah
jalan yang memberikan keselamatan.
Pada setiap sudut benteng terdapat
bangunan bastion yang berfungsi
sebagai tempat mengintai musuh. Di setiap bastion
terdapat lubang pengintaian dan relung-relung yang berfungsi untuk menempatkan
meriam atau senjata lainnya. Dahulu benteng tersebut dikelilingi parit yang
lebar yang berfungsi untuk menghalangi musuh agar tidak bisa mencapai benteng,
namun lama-kelamaan parit tersebut hilang teruruk tanah.
Benteng
Keraton Yogyakarta memiliki bentuk segi empat yang hampir simetris. Panjang
masing-masing sisinya kira-kira 1 km lebih, sehingga panjang keseluruhan hampir
5 km. Ukuran tersebut jelas tidak sebanding dengan panjang tembok kota Hanyang
yang mencapai 19 km.
2.
Pasar
sebagai Pusat Perekonomian Kota
Seperti yang
kita ketahui bahwa pasar adalah tempat terjadinya pertukaran antara pembeli dan
penjual serta produsen yang juga ikut terlibat. Pasar tidak hanya ada di kota,
tapi juga ada di desa. Adanya pasar di dalam kota pusat kerajaan, maupun di
kota bukan pusat kerajaan sangatlah erat hubungannya dengan sifat corak
kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota, dilihat dari pengertian ekonomi
adalah suatu tempat menetap dimana penduduknya terutama hidup dari perdagangan.
Hal itu sesuai
pula dengan kehidupan kota-kota pusat kerajaan dan kota-kota pelabuhan dari
zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim bercorak Islam di
Indonesia. Kota itu antara lain: Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Banten,
Gresik, Jaratan, Jepara, Surabaya, Ternate, Banda, Gowa-Makasar, dan
Banjarmasin. Palembang dan yang lainnya banyak dikunjungi pedagang-pedagang
besar dan kecil dari berbagai negeri asing dan juga dari daerah kerajaan di
Indonesia. Pedagang-pedagang itu memiliki perkampungan sendiri yang disetujui
oleh penguasa kota. Lebih lagi bagi serikat dagang asing, lokasi loji atau
kantor dagang serta perkampungannya tidak terlepas dari ketentuan perjanjian
antara raja dengan mereka. Ada kalanya perkampungan mereka juga terdapat pasar,
misalnya di Banten ada pasar dalam perkampungan Cina. Meski demikian lokasi
pasar yang berbeda itu tidak lepas dari kepentingan ekonomi masyarakat kota.
Bagi kepentingan kalangan atas, pasar tidak boleh diabaikan, terutama karena
merupakan pendapatan bagi raja sekeluarga dan para bangsawan serta para elit.
Hubungan kota dan desa di sekitarnya juga tidak dapat dipisahkan karena saling
tergantung. Petani menjual hasil bumi kepada pedagang di dalam pasar.
Fungsi pasar di
kota-kota pelabuhan besar, disamping untuk melengkapi perdagangan lokal juga
untuk perdagangan nasional. Sebagai contoh, pasar internasional dimiliki
Banten, Demak, Malaka, Ternate dan Tidore dan sebagainya. Pasar yang ada di
kota-kota pusat kerajaan atau kota lainnya merupakan salah satu sumber
penghasilan raja atau penguasa setempat. Seringkali pasar tergantung pada
konsesi serta jaminan perlindungan dari penguasa. Para penguasa itu tertarik
karena hal itu merupakan bantuan yang teratur dari barang-barang serta produksi
yang diperdagangkan, cukai, uang untuk pasukan dan biaya perlindungan pedagang,
tarif-tarif pasar dan cukai dari proses hukum. Para penguasa mengharapkan
keuntungan dari para pedagang dalam membayar cukai.
Menurut John
Hicks, campur tangan pemerintahan dalam masalah pasar karena setiap
pemerintahan harus menghadapi pertengkaran dan pengacauan. Karena mereka itu
menghadapi suatu bahaya yang jelas dan politik. Perkumpulan yang terjadi di
pasar dapat menjadi ancaman yang potensial sangat berbahaya, dan para penguasa
itu tidak hanya tertarik akan keuntungan tapi juga menyangkut hak milik dan
untuk melindungi kontrak antara mereka dengan pedagang di pasar. Jelaslah hubungan
kepentingan timbal balik antara pihak pedagang dengan pihak penguasa.
Di Indonesia,
pasar sebagai salah satu sumber penghasilan raja dibuktikan menurut berita Cina
dari tahun 1618 di Banten, setiap hari raja menarik cukai dari pasar. Kemudian
di Aceh, pasar dipungut cukai (wase),
ini diceritakan melalui hikayat Bustan us Salatin.
Lazimnya untuk
kepentingan negara, pembayaran iuran tersebut diserahkan oleh pengutipnya, syahbandar dan hariya, kepada uleebalang dari wilayah yang bersangukutan dari kerajaan Aceh.
Dalam susunan birokrasi kerajaan ditetapkan pejabat tertentu yang mengurusi
pasar, memungut cukai dan lain-lain. Di Aceh, ada syahbandar dan hariya. Di
Jawa, disebut tanda (mungkin sudah
ada sejak Majapahit) yang diketahui
dari surat Angger-angger abad ke-18 antara Yogyakarta dan Surakarta. Sedang di
Makassar, disebut jannanga pasara.
Dapat ditarik
kesimpulan bahwa pasar dalam masyarakat kota pusat kerajaan dan mungkin kota
lain, berhubungan erat dengan struktur sosial-ekonomi bahkan mungkin dengan
struktur politik kerajaan.
3.
Tempat
Peribadatan, Masjid
Dalam uraian tentang kota dan
bagian-bagiannya, terdapat lokasi tempat peribadatan yang disebut masjid dan
langgar atau tajug. Adapun letak masjid tidak terpisahkan dari komposisi tata
kota inti dimana terdapat keraton. Pusat kota kerajaan terdiri dari
bangunan-bangunan, alun-alun, dan jalan-jalan utama yang memuat ke inti kota.
Masjid dan langgar atau tajug mempunyai
fungsi yang berbeda. Masjid merupakan tempat peribadatan yang dapat
dipergunakan untuk Sholat Jumat, sedangkan langgar atau tajug umumnya
dipergunakan untuk salat berjamaah sehari-hari dan bukan untuk salat Jumat.
Oleh karena itu, dalam ukuran serta bangunannya pun berbeda. Masjid umumnya
dibangun dalam ukuran besar sedangkan tajug atau langgar cukup untuk menampung
beberapa orang saja. Masjid-masjid besar terutama didirikan di pusat-pusat
kerajaan seperti di Samudra Pasai, Demak, Banten, Cirebon, Aceh, dan Makassar.
Di daerah-daerah kerajaan Melayu biasanya masjid besar dinamakan Masjid Raya,
dan di Jawa umumnya disebut Masjid Agung. Adapun sebutan lain untuk masjid
besar adalah Masjid Jami.
Masjid maupun langgar dalam arti luas
bukan hanya terbatas sebagai tempat untuk melakukan sembahyang atau Sholat,
tetapi juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan budaya masyarakat muslim. Oleh
sebab itu, di dalam masjid dan langgar diucapkan khotbah-khotbah,
tabligh-tabligh mengenai keagamaan-kemasyarakatan untuk kehidupan masyarakat
muslim di dunia dan akhirat. Secara tradisional, serambi digunakan untuk
kenduri-kenduri seperti mauludan dan lainnya yang bersifat semi-profan.
Masjid dan langgar dipakai pula untuk
madrasah dan sewaktu-waktu dipakai untuk menginap dan bahkan untuk tempat
pengadilan. Di Jawa, masjid-masjid kuno memiliki bagian yang dinamakan pawestren. Bagian tersebut merupakan
ruangan sebelah selatan yang terpisah oleh dinding. G.F Pijper berpendapat
bahwa pada zaman dahulu di Jawa, kaum wanita turut serta mengambil bagian dalam
melakukan sembahyang di masjid-masjid bersama kaum pria.
Pada masjid-masjid Agung, Raya,
atau Jami yang ada di kota-kota pusat kerajaan, pada hari Jumat dan hari-hari
tertentu lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha dihadiri pula oleh Sultan.
Hal tersebut disebutkan dalam Babad Banten, Babad Tanah Jawi, dan babad
lainnya. Kehadiran Sultan disamping melakukan ibadat bersama dengan seluruh
tokoh masyarakat kota pusat kerajaan, juga memperhatikan loyalitas para
penguasa di bawah raja dan tokoh-tokoh ulama serta masyarakat umum terhadap
sultan. Di beberapa masjid dari abad ke-18, seperti Masjid Agung Yogyakarta dan
Masjid Jami Sumenep, terdapat bagian yang disebut maksura, suatu tempat yang dikhususkan untuk raja atau sultan pada
waktu sembahyang Jumat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendirian kota tradisional ditandai dengan adanya
penggunaan teknologi yang sederhana, penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas,
serta sistem produksi yang masih didominasi tenaga manusia dan tenaga hewan.
Dengan minimnya penggunaan ilmu pengetahuan menyebabkan proses pembangunan kota
tradisional sering disisipi pemikiran-pemikiran yang tidak rasional atau banyak
hal mistis yang tidak dapat diterima dengan akal pikiran manusia tentang alasan
dibangunnya kota tersebut. Salah satu contoh yaitu dari pembangunan Kota
Surakarta, yang dimulai dari keraton Surakarta.
Pada waktu itu sangat jarang masyarakat Jawa yang
menguasai ilmu bumi, ilmu geografi, geologi, ilmu pengairan, atau landasan
ilmiah yang lain. Sehingga jalan keluar untuk menterjemahkan kondisi di sekeliling
mereka menggunakan nalar yang tidak rasional dengan berdasarkan ilmu nujum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lokasi kota-kota pusat
kerajaan di pesisir dan di muara sungai-sungai, merupakan faktor geografis yang
penting untuk hubungan lalu lintas dikarenakan akses yang lebih mudah dan
cepat. Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih menitikberatkan
kehidupannya pada perdagangan, dengan kekuatan militernya lebih dititikberatkan
pada angkatan laut. Sedangkan masyarakat kota agraris dalam kehidupan ekonominya
lebih menitikberatkan pada pertanian dan untuk kekuatan militernya lebih
dititikberatkan pada angkatan darat.
Pada
zaman kerajaan-kerajaan Islam sudah muncul beberapa kota yang maju dengan
adanya pembagian kerja yang kontras, bahkan adanya lapisan-lapisan masyarakat,
yakni (1) Golongan raja-raja dan keluarganya, (2) Golongan elite, (3) Golongan
non-elite, dan (4) Golongan budak.
Pembagian golongan atau lapisan penduduk kota tersebut tidak lain untuk
lebih memungkinkan keleluasaan pengklasifikasian golongan pejabat pemerintah,
ulama, atau tukang-tukang, pedagang serta petani.
Ada beberapa bangunan penting dalam
struktur kota tradisional yakni keraton sebagai pusat kekuasaan dan kediaman
raja atau penguasa kota, masjid sebagai tempat peribadatan, pasar sebagai pusat
perdagangan, serta perkampungan-perkampungan yang didasarkan pada status sosial
tertentu. Aspek fisik lain dari kota ialah adanya tembok atau pagar keliling
kota yang berfungsi mencegah gangguan keamanan dari luar kota.
B. Saran
Sebagaimana
setelah memahami dan mempelajari mengenai kota-kota tradisional kerajaan Islam
di Indonesia, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk peduli terlibat dan
berkontribusi dalam upaya pelestarian situs-situs sejarah tersebut beserta
tradisinya agar pada masa yang akan datang tetap terjaga kelestariannya
sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum khususnya yang terkait
dengan ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Poesponegoro,
Marwati. 1993. Sejarah Nasional Indonesia 3. Jakarta : Balai Pustaka
Basundoro,
Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta : Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar