24 Juni 2014

Kota-kota Kerajaan Islam Nusantara

MAKALAH SEJARAH PERKOTAAN
KOTA-KOTA TRADISIONAL KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan
Dosen Pengampu: Drs. Saiful Bachri, M.Pd

Disusun Oleh:


Kelompok 4
1.      Muhafiz Ghifari Ahmad                 [K4412049]
2.      Samodra Bayu                                [K4412071]
3.      Sigit Bayu K                                   [K4412072]
4.      Vidia Ulfa Mareta                          [K4412078]
5.      Wiwik Setyaningsih                        [K4412080]
6.      Anwar Rohmad Purnomo               [K4413009]
7.      Ervina Sarah Matondang                [K4413025]
8.      Fendi Noveliandika                        [K4413030]
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi pembawa berkah dan penghancur kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Perkotaan. Selain itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh pendirian kota-kota tradisional kerajaan islam di Jawa, struktur kota, pertumbuhan dan perkembangan kota tradisional, dinamika sosial di dalam kota, serta bagian-bagian dari kota tersebut.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat bimbingan dari beberapa pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat membuktikan bahwa penulis dapat melaksanakan tugas ini dengan semaksimal mungkin dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan pada umumnya.



                                                                                      Surakarta, 24 April 2014


               Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.    Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia.............................. 3
B.     Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia          7
C.     Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia................................ 10
D.    Dinamika Sosial Kerajaan Islam Indonesia............................................... 14
E.     Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia...................... 18
BAB III PENUTUP............................................................................................. 28
A.    Kesimpulan................................................................................................ 28
B.     Saran.......................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 30




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sebelum membahas kota-kota tradisional Kerajaan Islam Indonesia, kita perlu melihat ke belakang yaitu kota-kota awal Kerajaan Hindu-Budha, salah satunya Majapahit. Dimana, Maclaine Pont telah merekonstruksi tata kota Majapahit tersebut ke dalam sebuah peta. Menurut para ahli, kota di Kerajaan Majapahit itu merupakan akar kota-kota pada masa selanjutnya, yaitu Islam, karena struktur kotanya bisa dikatakan mirip. Dalam pendirian kota kerajaan Islam pun, masih banyak dibumbui hal-hal mistis sebagai pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha yang ada sebelumnya. Dalam kota tradisional Kerajaan Islam tersebut pasti terdapat keraton, alun-alun, masjid, pasar dan juga tembok atau biasa disebut benteng. Bagian-bagian kota tersebut memegang peranan pentingnya masing-masing. Tembok atau benteng digunakan untuk pertahanan melawan musuh dari luar, pasar digunakan sebagai sumber perekonomian kota, dan masjid untuk proses Islamisasi.
Dimensi sosial kota tradisional Kerajaan Islam Indonesia sendiri pun sangat kental, terdapat beberapa golongan seperti Raja dan keluarga bangsawan, golongan elite, golongan non-elite maupun golongan budak.
Dalam makalah ini, akan disajikan pembahasan mengenai pendirian kota tradisional, pertumbuhan dan perkembangan kota, struktur kota, dinamika sosial dan juga bagian-bagian kota tradisional.
B.       Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang Masalah yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Awal Mula Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
2.      Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
3.      Seperti apa Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
4.      Bagaimana Dinamika Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
5.      Apasaja Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini antara lain:
1.      Untuk mengetahui Awal Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
2.      Untuk mengetahui Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
3.      Untuk mengetahui Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
4.      Untuk mengetahui Dinamika Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia;
5.      Untuk mengetahui Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia.















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pendirian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Salah satu hal yang paling menonjol dari kota-kota tradisional, terutama yang ada di Jawa adanya adanya keraton, alun-alun, masjid, pasar dan tembok atau pagar keliling (benteng). Pada tataran budaya, kota tradisional ditandai dengan adanya penggunaan teknologi yang sederhana, penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas, serta sistem produksi yang masih didominasi tenaga manusia dan tenaga hewan. Dengan minimnya penggunaan ilmu pengetahuan tadi menyebabkan proses pembangunan kota tradisional sering disisipi pemikiran-pemikiran yang tidak rasional atau banyak hal mistis yang tidak dapat diterima dengan akal pikiran manusia tentang alasan dibangunnya kota tersebut. Salah satu contoh yaitu dari pembangunan Kota Surakarta pada masa Susuhunan Pakubuwana II, yang dimulai dari keraton Surakarta. Proses pemilihan tempat untuk pendirian keraton itu pun didasari oleh alasan-alasan yang dalam konteks pemikiran masa kini sangat tidak masuk akal. Keraton ini dibangun pada tahun 1745 Masehi, setelah sebelumnya Keraton Kartasura dihancurkan oleh para Pemberontak Cina-Jawa pimpinan Sunan Kuning dan Pasukan Madura pimpinan Cakraningrat IV. Sumber tentang pembangunan keraton ini adalah Babad Giyanti, dimana diceritakan bahwa Pakubuwana II mengumpulkan para penasehat dan para menterinya untuk memberitahu niatnya untuk memindahkan ibu kota (pangalih nagara) yang dihancurkan oleh orang Cina (sirna binasmi dening kang mungsuh Cina).
Pakubuwana II mengirim utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga, dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok yang akan digunakan untuk membangun istana baru ke daerah sekitar lembah Bengawan Solo. Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk istana yang akan dibangun, baik secara lahiriah maupun batiniah. Utusan tersebut terdiri dari Patih Pringgalaya (patih jawi), Adipati Sindureja (patih lebet), Tumenggung Hanggawangsa (ahli spiritual), R.T Mangkuyudo (ahli spiritual), R.T Puspanegara (ahli spritual), dan Mayor Hogendorp (Komandan Garnisun Belanda). Banyaknya ahli spiritual yang dikirim menunjukkan bahwa porsi untuk hal-hal yang berbau mistis ini masih sangat kental.
Setelah berjalan beberapa lama, mereka menemukan beberapa tempat yang cocok untuk dibangun istana. Mayor Hogendorp mengusulkan tempat di Desa Kadipolo di sebelah timur Bengawan Solo, karena tanah disana lebih rata sehingga mudah untuk proses pembangunan keraton dan juga lebih strategis. Tetapi Tumenggung Hanggawangsa mengemukakan bahwa menurut perhitungannya, jika ibu kota tempatnya di timur Bengawan, maka orang Jawa akan kembali memeluk agama Budha (tiyang jawi badhe wangsul Buda malih). Menurut Hanggawangsa daerah Solo-lah yang paling tepat untuk tempat keraton yang baru. Padahal secara geografis, daerah Solo kurang bagus untuk sebuah kota karena daerahnya berawa-rawa dan berbukit-bukit, namun karena menurut perhitungan supranatural daerah itu yang paling cocok maka raja memilih daerah Solo untuk keraton barunya. Dan setelah keraton dipindah, nama Solo dirubah menjadi Surakarta.
Perbedaan pendapat antara Mayor Hogendorp dengan Tumenggung Hanggawangsa menunjukkan pola berpikir yang berbeda antara yang rasional dengan yang mengedepankan mitos atas pilihan sebuah wilayah untuk sebuah kota. Dalam proses pembangunan kota-kota tradisional di Jawa pada khususnya, petunjuk orang pintar, seperti dukun atau ahli nujum lebih diutamakan daripada persyaratan geografis secara teknik arsitektural dari para ahli bangunan. Pemberkatan tanah yang akan didirikan kota menjadi sebuah persyaratan umum agar kelak kota yang dibangun membawa berkah bagi penghuninya. Pemberkatan tanah ini dilakukan dengan bantuan berbagai benda keramat yang dialihkan dari keraton terdahulu, yaitu empat pohon beringin yang diambil dari alun-alun lama, dan Bangsal Pangrawit yang dianggap sangat keramat karena mengandung bongkahan batu yang dianggap bekas singgasana Hayam Wuruk.
Sesudah utusan Sunan itu melaporkan hasil pencarian, maka Susuhunan Pakubuwana II memerintahkan Kyai Tohjaya, Kyai Yasadipura I, dan R.T Padmagara agar segera membangun istana yang baru di Desa Solo. Dalam proses pembangunan istana tersebut pun masih dibumbui dengan munculnya cerita-cerita mitos yang kurang rasional. Misalnya, karena daerah Solo merupakan daerah berawa-rawa dan ternyata terdapat mata air yang cukup besar, maka terlebih dulu mata air itu harus disumbat. Balok-balok kayu yang besar dimasukkan ke mata air sampai penuh agar mata air itu berhenti, tapi usaha itu gagal. Sumber air itu semakin deras dan mengeluarkan jenis ikan laut. Menyaksikan kejadian tersebut maka Kyai Yasadipura kemudian bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Ketika bertapa itulah, ia mendapatkan jawaban dan cara untuk menutup sumber mata air itu. “Hai kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara, gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun talas, dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok sungai itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak dapat berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya”. Lalu ia melapor pada Susuhunan Pakubuwana II yang segera mengurai makna bisikan yang diterima Yasadipura ketika bertapa.
Menurut Pakubuwana II, tledhek (ronggeng) adalah 10.000 ringgit. Gong Sekar Delima berarti gangsa, bibir atau perkataan. Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan cikal bakal Desa Solo yaitu Ki Gede Solo. Atas pertimbangan itu sepantasnya Ki Gede Solo menerima ganti rugi uang sebanyak 10.000 ringgit sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya yang akan dibangun istana. Demikian akhirnya Ki Gede Solo mendapat ganti rugi tersebut. Selanjutnya ia bertapa di Makam Ki Bathang, dan dalam pertapaannya tersebut ia memperoleh Sekar Delima Seta dan daun talas yang segera dimasukkan ke dalam sumber mata air. Sumber tersebut kemudian berhenti mengalir, sehingga pembangunan kompleks istana bisa segera dilakukan.
Proses pendirian Kota Yogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I juga tidak jauh berbeda dengan hal-hal yang berbau mitos serta ramalan. Yogyakarta sebenarnya sudah dikenal sebelum Kota Yogyakarta didirikan dan dijadikan tempat berdirinya keraton. Wilayah ini dikenal salah satunya dalam Babad Giyanti, yang mengisahkan bahwa Sunan Amangkurat telah mendirikan dalem di wilayah itu, yang bernama Gerjiwati, dan oleh Pakubuwana II kemudian dinamakan Ayodya. Alkisah menurut cerita nenek moyang, seorang kyai bernama Manganjaya memiliki sebuah buku pedoman ramalan. Berdasarkan buku itu, ia mengerti bahwa tempat dalam hutan itu kelak akan menjadi kota. Sejak itu ia mengumpulkan batu-batu bagi istana yang akan dibangun sebagai tanda bakti kepada raja. Terlepas dari buku ramalan itu, nampaknya tempat yang kelak menjadi Kota Yogyakarta telah menjadi tempat yang strategis sejak awal. Ketika Mangkubumi membangun Kota Yogyakarta, tempat ini bukanlah tempat yang belum dikenal sama sekali. Tempat ini dikenal dengan nama Hutan Bringan. Mas Garendi (Sunan Kuning) pernah tinggal disana pada 1742, dan Gubernur Jendral van Imhoft telah mengunjungi tempat itu paad 1744.
Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februai 1755 yang menandai pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakart. Hutan Bringan mulai dibuka, yaitu di sebuah pedukuhan yang disebut Pacethokan. Kawasan ini dibuka untuk membangun istana raja serta rumah-rumah pejabat kerajaan, yaitu para bupati dan para pangeran. Di dalam Babad Giyanti juga disebutkan bahwa karena Hutan Bringan merupakan wilayah pemukiman binatang buas, maka ketika wilayah tersebut dibuka untuk dibangun sebuah kota, binatang-binatang buas tersebut dipindahkan ke hutan lain atau disingkirkan ke daerah pegunungan. Pada waktu hutan itu dibuka, slatan untuk sementara bertempat tinggal di Gunung Gamping. Tempat ini terletak kurang lebih 5 km sebelah barat Yogyakarta sekarang. Setelah istana selesai maka pindahlah Mangkubumi ke kota yang kemudian diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat atau dengan sebutan Yogyakarta.
Cerita mitologi juga beredar berkaitan dengan berdirinya Kota Semarang di Jawa Tengah. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa serta Babad Nagri Semarang, berdirinya Kota Semarang terkait erat dengan keberadaan Sulan Demak yang kedua. Sultan Demak kedua mempunyai putra yang tidak menggantikan dirinya menjadi raja di Demak. Ia mempunyai keinginan menyiarkan agama Islam dan bertempat di Pulau Tirang. Di pinggir daerah itu ia menanam pohon pandan dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lain yang jarang-jarang (arang: Jawa). Oleh karena itu, Sultan Demak menamakan putranya dengan nama Ki Pandan Arang. Di kemudian hari, daerah yang dibuka oleh Ki Pandan Arang berangsur ramai dan dinamai Semarang. Ki Pandan Arang kemudian menjadi bupati pertama di kota ini, dan bergelar Kanjeng Pangeran Pandan Arang Semarang. Nama Semarang diambil dari kata asem dan arang, kata ini diambil karena pada waktu itu di daerah itu terdapat banyak pohon asam yang jarang-jarang (arang). Sampai saat ini di beberapa sudut Kota Semarang masih banyak terdapat pohon asam.
Munculnya mitos-mitos dalam proses pendirian kota pada periode kota tradisional sebenarnya merupakan cerminan ketidakberdayaan pikiran manusia pada waktu itu untuk menerjemahkan situasi di sekeliling mereka dengan nalar yang rasional. Hampir semua lokasi pendirian kota pada awalnya merupakan kawasan kosong, hutan-hutan, atau tanah berawa-rawa. Pada waktu itu sangat jarang masyarakat Jawa yang menguasai ilmu bumi, ilmu geografi, geologi, ilmu pengairan, atau landasan ilmiah yang lain. Sehingga jalan keluar untuk menterjemahkan kondisi di sekeliling mereka menggunakan nalar yang tidak rasional (dalam konteks pikiran masa kini).

B.       Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia (Kota pusat kerajaan dan kota diluar pusat kerajaan)
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, daerah Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Palembang, Jambi, Malaka, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Gowa, Banjarmasin sudah dapat dikatakan sebagai kota. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat yang berfungsi sebagai kota pusat kerajaan dan sebagai kota kadipaten maupun kota pelabuhan.
Dilihat dari letak georgafis kota-kota pusat kerajan yang bercorak Islam umumnya berada di pesisir-pesisir dan di muara sungai-sungai besar. Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Demak, Banten, Ternate, Gowa, Banjarmasin merupakan kota pusat kerajaan yang bercorak maritim, sedangkan Pajang dan Surakarta merupakan kota pusat kerajaan yang bercorak agraris. Dilihat dari sudut ekonomi dan militer terdapat perbedaan antara kota pusat kerajaan yang bercorak maritim dan yang bercorak agraris.
Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan, hal ini merupakan suatu ciri yang berhubungan dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Sedangkan kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan laut, suatu ciri penting pula dan erat hubungannya dengan suasana politik serta perluasannya. Sedangkan masyarakat kota agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada pertanian dan untuk kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan darat.
Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pusat kerajaan disebabkan beberapa faktor. Lokasi kota-kota pusat kerajaan di pesisir dan di muara sungai, merupakan faktor geografis yang penting untuk hubungan lalu lintas. Menurut Charles M. Cooley bahwa hubungan lalu lintas itulah yang menjadi sebab utama lokasi kota-kota besar di muara atau pertemuan sungai-sungai. Hubungan lalu lintas melalui sungai-sungai serta lautan dengan mempergunakan perahu dan kapal pada waktu itu dianggap lebih tepat, cepat dan mudah.
Hubungan-hubungan antar kota, baik di daerah Indonesia sendiri maupun dengan kota-kota di luar Indonesia, merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota-kota itu sendiri. Misalnya saja pertumbuhan dan perkembangan kota Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Palembang dan Malaka di Selat Malaka, ini karena tempat-tempat tersebut terletak di sepanjang selat yang penting bagi lalu lintas perhubungan dan perdagangan. Selata Malaka merupakan salah satu urat nadi pelayaran dan perdangangan internasional yang menghubungkan bagian barat, tenggara dan timur Benua Asia.
Sejak pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa dengan munculnya kota pusat kerajaan Demak dan kota-kota pelabuhan Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu, terbentuklah rangkaian kota-kota pelabuhan yang pada saat itu memungkinkan perkembangannya. Hal ini antara lain karena kunci pelayaran dan perdagangan yang terbentang antara lain Selat Malaka melalui pasisir utara Jawa sampai Maluku sebagian besar berada ditangan pedagang-pedagang muslim. Tumbuhnya kota-kota pusat kerajaan di Jawa Barat seperti Cirebon, Jayakarta, Banten membentuk pula jalinan perhubungan, pelayaran, perekonomian dan politik dengan Demak, sebagai pusat kerajaan besar pada abad ke-16.
Pertumbuhan dan perkembangan kota pun juga dipengaruhi oleh faktor politik. Misalnya saja pusat kerajaan yang bercorak Islam di pesisir utara Jawa, di pesisir Selat Malaka dan di beberapa daerah lainnnya. Demak muncul sebagai kota pusat kerajaan karena usaha Raden Patah yang berhasil menghimpun kekuatan masyarakat yang kemudian berhasil menaklukkan Majapahit yang sudah lemah akibat konflik di dalam keluarga kerajaan. Kota Cirebon berkembang mungkin karena penguasanya berhubungan politik dengan Demak bahkan menjadi bagian Demak.
Selain karena faktor politik, ekonomi dan geografi, pertumbuhan beberapa kota di Indonesia mungkin tidak dapat dilepaskan dari faktor yang berhubungan dengan kosmologi serta faktor magis-religius. Hubungan antara pendiri suatu pusat kerajaan dengan kosmologi bukan hanya dalam pendiri suatu kerajaan saja tetapi juga dalam penobatan raja, gelar raja-ratu, menteri-menteri, pendeta-pendeta, pembagian provinsi, upacara-upacara adat, dalam pekerjaan seni pembuatan denah kota dan struktur ibu kota atau pusat kerajaan. Tumbuhnya kota pusat kerajaan Demak di Bintara menurut Babad Tanah Jawi ialah atas petunjuk Sunan Ampel. Diramalkan oleh Sunan Ampel bahwa Demak Bintara akan menjadi kerajaan besar di Jawa. Selain itu pendirian kota Surosowan sebagai ibu kota kerajaan Banten ialah atas petunjuk dan nasihat Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanudin. Selain itu dinasihatkan agar watu gilang yang ada di tengah kota tidak boleh digeser, karena pergeseran tanda keruntuhan bagi kerajaan. Unsur-unsur lain yang berhubungan dengan kosmologi ialah pemberian gelar beberapa orang raja atau sultan. Di daerah bekas kerajaan Samudra Pasai yaitu di Menunasah Pi, Gampong Geudong, terdapat nisan kubur yang memuat nama Maulana Abdul-Rahman Taju’l Daulah Qutbu’l Ma’ali-al Fasi. Nama yang memakai gelar tersebut mengingatkan kita kepada Susuhunan Pakubuwono, Cakraningrat, Paku Alam dan sebagainya.

C.      Struktur Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya yang mengutip Sadjarah Banten menunjukkan bahwa kota-kota tradisional di Indonesia, terutama pusat pemerintahan berdiri dengan sebuah perencaan yang teratur dengan syarat-syarat yang mutlak, yaitu rumah untuk raja (keraton), alun-alun, pasar, serta masjid. Ada perbedaan yang mencolok antara kota-kota pantai yang merupakan bandar dengan kota-kota yang ada di pedalaman yang merupakan kota agraris. Sebagai contohnya yaitu kota Banten dan kota Yogyakarta.
Banten merupakan tipologi kota bandar yang berdiri pada zaman perdagangan. Struktur kota ini sangat kontradiktif dengan kota di pedalaman Jawa. Kota ini berdiri menghadap ke laut yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan dari pelayaran, sehingga kota ini tumbuh dengan cepat menjadi kota metropolis-kosmopolis. Namun, kota ini dibangun dengan sangat semrawut dan tidak teratur, yang sebagian besar disebabkan dari  masuknya orang asing yang sebagian besar merupakan pedagang. Kehadiran mereka yang bergelombang mengakibatkan mereka hidup berkelompok sesuai etnisnya, ini mengakibatkan kesulitan dalam pengawasannya.
Willem Lodewycksz dalam laporan perjalanannya pada 1598 menggambarkan suasana kota Banten saat itu. Menurutnya kota Banten terbagi menjadi beberapa bagian, dan di setiap bagian ditempati oleh Bangsawan untuk melindungi kota pada saat perang, kebakaran, atau apa saja. Rumah mereka terbagi menjadi beberapa ruang yaitu paseban yang merupakan ruang persegi yang berfungsi sebagai tempat penerima tamu atau orang yang menghadapnya yang di jaga oleh sepuluh sampai dua belas  orang yang berjaga. Mereka juga memiliki lapangan yang disudutnya terdapat masjid dan sumur. Lebih ke dalam lagi terdapat sebuah pintu dengan jalan yang sempit yang diperkuat dengan kedai dan toko yang merupakan tempat budak mereka berdiam untuk melindunginya.
Untuk menunjukkan kesemrawutan kota Banten lebih lanjut Lodewycksz mengemukakan bahwa di kota Banten hanya terdapat tiga jalan yang layak, yang ketiganya menuju ke paseban, jalan tersebut yaitu pertama dari paseban ke laut, kedua ke gerbang menuju pedesaan dan yang ketiga ke pegunungan. Jalan disana tidak diperkuat, kotanya becek, kotor, dan berbau.
Pola susunan kota yang di benteng ini dan yang didalamnya para pembesar dikelilingi oleh istri, budak dan orang yang bergantung padanya ditiru di kota-kota lain, seperti Makasar, di Jawa, dan Bali. Dengan demikian benteng menjadi ciri khas keberadaan sebuah kota, apalagi pada abad ke-16 dan ke-17 benteng tersebut digunakan untuk mempertahankan kota dari serangan angkatan laut bangsa Eropa. Pada 1600 kota-kota di Jawa seperti Banten, Jepara, Tuban, Pati, dan Surabaya semuanya memiliki pagar. Pada 1634 orang Makassar membangun tembok sepanjang 10 km untuk mempertahankan kota dari serangan Belanda dari laut.
Keberadaan tembok yang mengelilingi kota atau benteng menjadi ciri kota-kota pada masa lampau. Namun, ada juga kota-kota yang tidak berbenteng. Kota-kota besar Melayu seperti Malaka, Aceh, Johor, dan Brunei tidak memiliki dinding kota sama sekali, kecuali pagar pertahanan dari bambu yang dibangun untuk pertahanan sementara. Hal ini terkadang dianggap aneh oleh para pedagang dari luar.
Kota tradisional Jawa sebagian besar dibangun dengan merujuk kepada konsep-konsep tertentu yang baku. Dengan demikian kota-kota tradisional Jawa memiliki tipologi yang mirip antara satu dengan lainnya, untuk melihat tipologi tersebut kita harus melihat keraton sebagai kediaman raja-raja Jawa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Inilah yang menjadi rujukan kota-kota lain yang secara tradisional berstatus lebih rendah seperti kota kabupaten dimana tinggal seorang bupati. Dalam konsep tradisional jawa, orang Jawa menyebut kawasan keraton sebagai nagara atau nagari. Nagara sebenarnya konsep yang sudah sangat lama dikenal di Indonesia dan dianggap sebagai pengaruh Hindu. Nagara sebagai suatu bentuk kekuasaan politis di Indonesia sudah di kenal setidak-tidaknya sejak abad ke-5. Dengan konsep nagara organisasi sosial politik dan ekonomi pemukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas beberapa desa. Sebagaimana dikutip oleh Wiryomartono, nagara adalah daerah tinggal yang dapat dicapai dari desa-desa sekelilingnya tanpa harus melintasi sawah.
Di Jawa selain mengenal konsep nagara dikenal pula konsep kuta. Kedua konsep tersebut pengertiannya sama dimana nagara merupakan kawasan yang didalamnya tinggal seorang raja, sedangkan kuta merupakan kawasan yang lebih umum dimana daerah tersebut tanpa harus dihuni oleh seorang raja. Menurut Wiryomartono, kuta secara harfiah berarti daerah pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengeliling menurut bentuk pasagi (persegi). Dinding ini digunakan sebagai garis batas dhalem untuk melindungi teritorialnya sekaligus memberi definisi luar dan dalamnya kehalusan dalam berkrama. Untuk menyebut kuta yang menjadi kawasan tempat tinggal raja (nagara), di Jawa muncul konsep kutagara. Kutagara merupakan kawasan inti dimana berdiri rumah raja (keraton) yang merupakan pusat kekuasaan.
Kota tradisional Jawa dibangun dengan mengacu kepada raja sebagai titik puncak piramida kekuasaan. Menurut Denys Lombard yang mengacu kepada para ahli yang mempelajari konsep kuna tentang kekuasaan raja di Asia Tenggara. Di Jawa konsep bahwa raja sebagai pelaku utama yang bertugas mempertahankan keserasian antara mikrokosmos dengan makrokosmos (jagat raya) diaktualisasikan dalam bentuk pemujaan terhadap gunung-gunung yang dikaitkan dengan diri sang raja. Raja Yogyakarta dan Surakarta memuja keberadaan Gunung Merapi. Perilaku Gunung Merapi selalu dikaitkan dengan keberadaan Keraton Yogyakarta. Dengan mengacu pada keyakinan ini maka Kota Yogyakarta dibangun menghadap ke arah utara ke arah Gunung Merapi serta membelakangi Laut Selatan. Hal ini juga berlaku untuk kearton lain, letak keraton-keraton di Jawa pada umumnya menghadap ke utara, seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, Keraton Banten di Surosowan dan mungkin Keraton Demak, Yogyakarta dan Surakarta. Kompleks bangunan yang termasuk keraton biasanya dipisahkan dari bangunan-bangunan lainnya oleh tembok keliling, parit atau sungai buatan. Sehingga untuk mencapai tempat terpenting yang dinamakan “dalem” atau dalam itu tidak mudah.
Bangunan-bangunan di kota-kota, baik bahan maupun bentuknya seringkali menunjukkan perbedaan. Untuk bangunan keraton sebagian mempergunakan bahan-bahan batu bata, terutama pagar keliling, dinding-dinding dan bagian-bagian fondasi. Meskipun demikian, sebagian besar bangunan dibuat dari kayu dan bahan-bahan lain yang tahan lama. Dan untuk atapnya dibuat dari genting atau sirap.
Apabila di kota-kota pusat kerajaan atau kota-kota pelabuhan di Jawa, rumah-rumahnya sudah banyak yang tidak berpanggung, maka pada waktu itu di kota-kota lainnya masih banyak rumah yang didirikan di atas tiang-tiang yang tinggi. Seperti halnya di Aceh dan Ternate serta di Kalimantan dan Sulawesi. Hal ini terjadi karena setiap kali musim penghujan tiba selalu terjadi banjir yang melanda kota.
Kota tradisional Jawa secara fisik memiliki kemiripan, seperti kota Yogyakarta dan Surakarta yang rancangannya memiliki persamaan sebagai tipologi kota Jawa. Kawasan yang harus ada dalam rancangan tersebut yaitu keraton , masjid, penjara, serta pasar.
Kota Yogyakarta adalah salah satu tipologi kota Jawa. Kota ini merupakan Ibu Kota Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat, yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram. Yang mendirikan Kota ini adalah Pangeran Mangkubumi yang kelak bergelar Hamengkubuwono I dan menjadi raja pertama Kerajaan Yogyakarta. Pembentukan kota ini tidak bisa lepas dengan kolonialisme (VOC) yang memiliki andil besar dalam proses pendiriannya.
Kota ini dibangun dengan diawali pembangunan benteng keraton dengan penghuni awal adalah sultan (raja/pemimpin kerajaan), para bangsawan yaitu para staf kerajaan, dan abdi dalem yaitu para pegawai rendah di kerajaan yang merupakan penghuni kawasan jeroh benteng. Di luar benteng terdapat pasar gede yang letaknya di utara benteng kompeni (Fort Vredeburg) yang keduanya menghadap ke arah jalan raya yang menghubungkan alun-alun dengan sebuah tugu yang jaraknya dari keraton sekitar 2 km. Jalan raya tersebut kemudian menjadi jalan protokol yaitu jalan Malioboro. Di sepanjang jalan itu pemerintah Belanda menempatkan pertokoan Cina, sehingga kampung di belakangnya dinamakan Pecinan.
Di sebelah kiri alun-alun jika dilihat dari depan keraton terdapat Masjid Agung. Masjid dalam tradisi Jawa merupakan rujukan-rujukan bagaimana kegiatan religius yang terorganisir diberi tempat bagian pusat kekuasaan. Kampung di sekitar masjid agung dinamakan Kampung Kauman. Disebut kampung kauman karena di kampung tersebut berdiam seorang pegawai keraton yang khusus mengurusi kegiatan keagamaan (Islam) yang disebut penghulu keraton. Masyarakat awam menyebut penghulu dengan sebutan “kaum”, sehingga tempat tinggal mereka disebut Kampung Kauman.

D.      Dimensi Sosial Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
Perkembangan kota-kota di Indonesia, kita juga dapat melihatnya dengan menggunakan perspektif evolusioner. Persepektif ini hanya dapat digunakan untuk melihat karakteristik kota-kota berkaitan dengan budaya dan politik yang berkembang dalam kota tersebut, sekaligus pengaruh budaya dan politik itu terhadap perkembangan fisik kota. Perspektif ini untuk konteks kota-kota di Indonesia bisa dimulai dengan kota tradisional, kota kolonial, dan kota pasca-kolonial (kemerdekaan). Penggunaan kategori kota pra-industial dan kota industrial nampaknya tidak tepat untuk kota-kota di Indonesia, mengingat munculnya kota-kota industri di Indonesia kebanyakan tidak diawali dari kota pra-industrial terlebih dahulu.
Banyak kota di Indonesia yang tidak berubah dari kota pra-industrial ke kota industri, tetapi banyak juga kota yang tiba-tiba menjadi kota industri. Contohnya yaitu Yogyakarta, yang sampai saat ini tetap tidak menjadi kota industri. Walaupun keberadaan keraton dan raja hanya sebagai simbol, tetapi sebagian masayarakat Yogyakarta pinggiran keberadaan dua hal tersebut tetap dianggap sebagai keraton dan raja yang sebenarnya bagi mereka. Kata-kata Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Raja Yogyakarta tetap mereka percaya sebagaimana kata-kata raja yang sebenarnya. Sementara itu, Kota Cikarang di Bekasi tiba-tiba tumbuh menjadi kota industri tanpa didahului dengan keberadaan kota praindustri. Demikian juga dengan banyak kota industri lainnya di Indonesia yang tiba-tiba tumbuh karena masuknya pemodal yang menanamkan modalnya dalam sektor industri. Oleh karena itu akan lebih baik apabila kita mengkategorikan kota-kota di Indonesia dengan kategori kota tradisional (kota-kota prakolonial), kota kolonial dan pascakolonial (kota masa Indonesia merdeka).
Dalam meninjau kota-kota tradisional kita bisa menggunakan “pisau analisis” sosiologi, analisis budaya, serta analisis arsitektur. Analisis sosiologi kita gunakan untuk melihat relasi sosial dan sifat-sifatnya antar penghuni kota. Menurut persepektif sosiologi, istilah kota tradisional bisa disejajarkan dengan istilah kota pra-industri. Penyebutan kota pra-industri atau kota tradisional dimaksudkan untuk membedakan dengan ciri-ciri spesifik sebuah kota industri atau kota modern. Gideon Sjoberg adalah seorang ahli perkotaaan yang menekankan perbedaan antara kedua kota tersebut. Dalam bukunya The Preindustial City, Past and Present, Sjoberg membedakan tipe masyarakat berkaitan dengan perkembangan sebuah kota. Menurutnya masyarakat dibagi dalam tiga tipe, yaitu pertama, the falk/preliterate society; kedua, the feudal/preindustrial civillized/literate preindustrial society dan ketiga, the industrial urban society. Namun bagi Sjoberg, berkaitan dengan perkembangan sebuah kota, hanya terdapat dua tipe masyarakat yang terakhir. Karena menurutnya tipe masyarakat yang pertama hanya terdapat di wilayah-wilayah bukan perkotaan.
Secara umum terdapat perbedaan-perbedaan yang nyata antara kota tradisional (kota pra-industri) dan kota modern (kota industri). Kota-kota tradisional kebanyakan merupakan pusat kegiatan-kegiatan pemerintahan serta keagaamaan dan bukan merupakan pusat kegiatan komersial. Kunci kehidupan kota terletak di tangan sejumlah elite yang memperoleh kekuasaan karena menguasai serta mengendalikan kunci-kunci organisasi-organisasi pemerintahan, keagamaaan serta pendidikan. Mereka dimungkinkan untuk mempertahankan posisinya oleh berbagai faktor dan keadaan. Salah satu faktornya adalah penciptaan simbol-simbol yang bisa berupa mitologi yang mendorong terbentuknya kepercayaan pada rakyat bahwa raja adalah keturunan dewa (konsep dewaraja). Sartono Kartodirdjo, dalam masyarakat tradisional/praindustrial struktur kekuasaan berkaitan erat dengan sistem kepercayaan, sebab nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat itu bersumber pada sistem tersebut. Orde sosial sebagai sub orde dari kosmis-magis berdasarkan prinsip religius, kekuasaan bersumber dari kekuatan supranatural. Tidak mengherankan apabila penguasa atau pemimpin dalam masyarakat tradisional memegang kekuasaan yang dualistik, yang duniawi dan yang rohaniah. Keduanya “manunggal” di satu tangan. Konsep kekuasaan seperti ini dalam banyak hal mempengaruhi struktur kota-kota tradisional.
Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam sudah muncul beberapa kota yang sudah dapat maju, salah satu ciri sebagai wilayah yang dikatakan maju adalah sudah adanya pembagian kerja yang kontras, bahkan adanya lapisan-lapisan masyarakat. Maka dalam penggolongan masyarakat kota-kota zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia dibagi atas: (1) Golongan raja-raja dan keluarganya, (2) Golongan elite, (3) Golongan nonelite, dan (4) Golongan budak.  Pembagian golongan atau lapisan penduduk kota seperti tersebut tidak lain untuk lebih memungkinkan keleluasaan mengklasifikasikan golongan pejabat pemerintahan, ulama, tukang-tukang, pedagang serta petani.
Di antara segi-segi tradisi yang memungkinkan golongan elite mempertahankan posisinya adalah usaha golongan elite untuk menciptakan jarak yang jauh dan tajam antara mereka dengan masyarakat lapisan bawah. Perbedaan anatar lapisan bawah dan lapisan elite terlihat dari beberapa segi yaitu seperti cara berpakaian serta jenis pakaiannya, cara berbicara, tingkah laku dan lain-lain. Dalam budaya Jawa tempo dulu, terutama pada zaman kerajaan, lawan bicara dan situasi pembicaraan menjadi faktor penentu atas pilihan bahasa yang digunakan. Para ahli bahasa mengatakan bahwa struktur bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat dan sangat memperhatikan situasi dan  lawan bicara adalah rekayasa Sultan Agung. Rekayasa bahasa ini dimaksudkan agar golongan elite bisa melanggengkan perbedaan dengan golongan masyarakat bawah. Segi lain dari tradisi yang memungkinkan mereka mempertahankan posisinya ialah keadaan yang serba ascriptive, yakni bahwa segala sesuatu diperoleh lewat warisan, terutama yang menyangkut mata pencaharian dan status. Raja dan para bupati memperoleh jabatan karena warisan orang tuanya.
    Kelas sosial yang nampak dalam masyarakat feodal, baik identitas maupun perbedaannya adalah antara sejumlah kecil golongan elite dengan sejumlah besar lapisan bawah. Golongan terakhir yaitu kelas bawah dapat dikatakan tidak ada, atau kalau ada pun sangat tidak berarti dan tidak mampu mempengaruhi sebuah perubahan. Apabila seseorang dari kelas bawah menjadi sangat menonjol, maka orang tersebut akan dimasukkan ke dalam golongan elite. Gejala seperti ini misalnya dialami oleh pedagang-pedagang yang menjadi sangat kaya. Bisa dicontohkan yaitu para juragan perak di Kotagede, Yogyakarta. Mereka awalnya berasal dari kelompok sosial bawah, tetapi karena mereka berbisnis maka mereka menjadi kaya dan kedudukannya naik hampir sama dengan golongan elite tradisional lainnya. Contoh lain yaitu keluarga Asnar dan Jaelan di Gresik. Mereka juga dari kelas bawah, namun karena mereka berwiraswasta, mereka menjadi kaya. Dengan kejayaannnya mereka dapat bersahabat dengan Raja Solo. Mereka adalah elite baru yang mengalami mobilitas vertikal karena kekuatan ekonomi yang mereka miliki.
E.       Bagian-bagian Kota Tradisional Kerajaan Islam Indonesia
1.         Tembok Kota (City Wall)
Tembok kota ( City Wall ) merupakan salah satu ciri dari kota tradisional di berbagai tempat didunia. Pendirian tembok kota berkaitan dengan kepercayaan bahwa kota harus mampu menjadi tempat tinggal raja yang nyaman dan aman. Akan tetapi di kota-kota modern, tembok kota jarang ditemui karena keamanan kota modern tidak tergantung pada keberadaan tembok kota, tapi pada kepolisian.
Pada kota tradisional yang menjadi pusat kerajaan, kota harus menjadi tempat yang aman bagi raja karena raja merupakan sentral dari kekuasaan yang harus dilindungi keamanannya. Jika raja sampai terbunuh oleh musuh ataupun oleh pemberontak maka hal tersebut akan menjadi aib bagi kerajaan yang bersangkutan karena tidak mampu melindungi rajanya. Dengan alasan tersebut maka ibu kota kerajaan biasanya memiliki pengamanan yang standar, salah satunya adalah dengan menembok kota secara berkeliling. Tembok kota/city wall menjadi penanda unik dari hampir semua kota yang merupakan bekas ibu kota kerajaan tradisional.
Di Jawa, tembok kota dikenal dengan istilah beteng/ benteng sehingga di Yogyakarta terdapat tempat yang disebut Pojok Beteng (kulon dan wetan). Kota Seoul di Korea merupakan salah satu kota yang juga memiliki tembok kota yang dalam bahasa setempat disebut eupseong. Eupseong juga memiliki fungsi yang sama dengan benteng di Keraton Yogyakarta yaitu untuk melindungi istana raja. Seoul yang pada zaman dahulu bernama Hanyang dan Yogyakarta merupakan kota tradisional yang pernah sama-sama menjadi ibu kota kerajaan.
Mengacu kepada keberadaan tembok kota, maka kota tradisional didefinisikan sebagai daerah pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengelilingi menurut bentuk pasagi (persegi). Keberadaan dinding ini digunakan sebagai garis batas untuk melindungi teritorial sekaligus memberi definisi luar dan dalamnya kehalusan dalam bersikap.
Di Jawa terdapat beberapa kota yang memiliki dan diidentifikasi pernah memiliki tembok kota, dan sampai saat ini dibeberapa bagian masih terawat dengan baik adalah kota Seoul. Berbeda dengan tembok kota di Jawa yang bentuknya pasagi, tembok kota Seoul berbentuk tidak beraturan karena mengikuti geografi kota yang bersangkutan.
a.         Berawal dari konflik
Kerajaan-kerajaan di Indonesia bisa dikatakan berawal dari konflik, karena tidak adanya peraturan tentang raja sehingga raja merupakan pusat segala pemerintahan dan ketika raja yang berpengaruh besar tadi wafat, dengan tidak meninggalkan putera mahkota yang sah, maka akan ada percekcokan antara putera-putera raja tersebut. Karena mereka merasa berhak atas tahta kerajaan. Seperti pada konflik Keraton Mataram Islam yang menyebabkan pecahnya keraton menjadi dua bagian yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Kerajaan mataram awalnya didirikan oleh Ki Gedhe Pamanahan, yang kemudian memiliki keturunan Senapati Ingalaga, pada masa Senapati ini Mataram mampu melakukan ekspansi-ekspansi keluar wilayah Mataram sehingga memiliki banyak daerah taklukan dan wilayah Mataram juga semakin luas. Kemudian pada masa cucunya penklukan-penaklukan wilayah juga semakin gencar, yakni Sultan Agung. Sultan Agung adalah raja yang memiliki kemampuan militer yang kuat. Namun pada akhir masa pemerintahannya kerajaan Mataram menjadi sangat rapuh dengan pemberontakan dimana-mana oleh para putera mahkota. Dari sini mulai muncul kekuatan-kekutan baru di Mataram. Pemerintahan Amangkurat I mendapat serangan dari Trunajaya, pangeran dari Madura. Amangkurat I harus lari keluar dan meninggal dalam pelarian di sebelah selatan kota Tegal. Kondisi peperangan sebagian besar hampir dapat dimenangkan oleh Trunajaya. Namun karena Amangkurat II meminta bantuan kompeni, kemenangan di tangan Amangkurat II.
Pada 1680, Amangkurat II memindahkan Ibu kota Mataram ke Pajang yang kemudian diberi nama Kartasura. Namun, oleh saudaranya yaitu Pangeran Puger tidak mau mengakui keberadaan ibu kota baru Mataram tersebut. Ia masih bertahan di ibu kota yang lama dan menyatakan memberontak kepada saudaranya, Amangkurat II. Atas kejadian ini Pangeran Puger di usir oleh VOC, diketahui juga Amangkurat II lebih condong meminta bantuan pada kompeni sehingga ia sering disebut anak kompeni.
Dalam waktu yang relatif singkat Pangeran Puger dapat menghimpun lebih dari 10.000 pasukan untuk merebut Mataram ke tempat asal. Namun lagi-lagi campur tangan VOC ada disini maka Pangeran Puger dapat dipukul mundur dan terpaksa harus mengakui kepemimpinan Amangkurat II.
Setelah Amangkurat II wafat digantikan oleh Amangkurat III. Pada saat itulah perselisihan warisan yang melibatkan Pangeran Puger meletus kembali. Dengan memanfaatkan situasi, Pangeran Puger mengaku sebagai penerima tahta yang sah atas Mataram kepada VOC, kemudian ia mendapatkan restu dari VOC untuk menduduki singgasana Mataram dengan gelar Pakubuwono I. Pada masa kekuasaannya ada beberapa daerah juga muncul pemberontakan, kekuasaannya melemah, bahkan hampir seluruh rakyat meninggalkannya dan hampir seluruh Jawa memusuhinya. Pakubuwana I wafat 1719 kemudian tahta kerajaan digantikan  oleh puteranya dengan gelar Amangkurat IV. Kemudian Amangkurat IV meninggal pada 1726 dan digantikan oleh anaknya yang masih belia dengan gelar Pakubuwana II.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono II kekacauan semakin menjadi di ibukota kerajaan Mataram di Kartasura. pemberontakan terus menerus terjadi baik yang dilakukan oleh saudara raja maupun oleh vassal-vasalnya. Salah seorang saudaranya adalah Mas Said. Merasa ibu kota Kerajaan Mataram sudah tidak aman, Pakubuwono II memindah ibukota kerajaan di tepi sungai desa Solo. Yang kemudian berganti nama menjadi Surakarta. Yang merupakan kebalikan nama dari ibukota yang sebelumnya, Kartasura.
Pakubuwono II wafat, kemudian di gantikan oleh Pakubuwono III. Merasa berjasa dan dijanjikan kekuasaan oleh Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi kecewa karena janji tersebut tidak terlaksana. Maka Pangeran Mangkubumi memberontak kepada Mataram. Menghadapi pemberontakan antar saudara sering terjadi, maka VOC sebagai pihak ketiga turut ikut campur dalam permasalahan ini. Dengan puncak Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, maka Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, timur dan barat. Pakubuwono III tetap mendapatkan wilayah di Surakarta dan Sultan Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapatkan wilayah baru di Yogyakarta.
b.        Mendirikan kota, membangun tembok dan benteng
Pembangunan benteng pada kerajaan-kerajaan di Jawa memiliki fungsi utama yakni melindungi keraton dari serangan musuh. Oleh sebab itu, pembangunan benteng hanya di wilayah keraton tidak untuk wilayah kerajaan seperti di Cina ataupun Korea.
Salah satu benteng yang digunakan untuk melindungi keraton adalah di kota Yogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti, Sultan Mangkubumi yang mendapatkn wilayah sebelah barat dengan membuka Hutan Bringan dan menjadikan wilayah tersebut sebagai ibu kota kerajaan dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Bangunan pertama yang di bangun di wilayah tesebut adalah keraton sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. Pada tanggal 1756, Mangkubumi pindah dari Pansanggrahan Gamping ke keraton. Sebagai tanda dari kepindahannya tersebut adalah adanya candrasengkala yang berbunyi “dwi naga rasa tunggal” diartikan 1682 Saka atau 1756 Masehi.
Kompleks utama keraton luasnya kurang lebih 4000 m2 yang dikelilingi gedung-gedung yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Sebagai sultan yang dulunya merebut kekuasaan tentunya memiliki perasaan was-was terhadap musuh, oleh sebab itu tembok keraton dibuat tinggi selain sebagai pembatas antara raja dengan rakyat juga sebagai benteng keluarga raja dari serangan musuh.
c.         Struktur benteng kota
Jika melihat pola struktur benteng antara eupseong di Hanyang dan beteng di Yogyakarta, terdapat kesamaan fungsi yaitu sebagai benteng pertahanan jika sewaktu-waktu kota mendapatkan serangan dari pihak musuh. Akan tetapi, dari segi struktur dan makna, kedua benteng tersebut memiliki perbedaan.
Gambar: Benteng Keraton Yogyakarta (garis tebal)
Benteng keraton Yogyakarta memiliki lima pintu yang disebut plengkung, karena bentuknya melengkung setengah lingkaran. Kelima plengkung benteng keraton Yogyakarta antara lain sebagai berikut:
1)      Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Kata tarunasura  berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura 'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani.
2)      Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura 'berani'. Dengan demikian, Plengkung Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk) kompleks keraton yang melambangkan rasa keberanian.
3)      Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang terletak di sebelah barat. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini sudah berubah menjadi gapura. Kata jagabaya berarti menjaga marabahaya.
4)      Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan yang terletak di sebelah timur, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan bala tentara Inggris pada tahun 1812. Kata tambakbaya berasal dari dua unsur kata yakni tambak 'segala sesuatu yang dijadikan penghalang air' dan baya 'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut dimaksudkan sebagai penghalang marabahaya.
5)      Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan. Saat ini masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut kala sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja. Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke keraton tanpa bahaya, maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan.
Pada setiap sudut benteng terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai tempat mengintai musuh. Di setiap bastion terdapat lubang pengintaian dan relung-relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. Dahulu benteng tersebut dikelilingi parit yang lebar yang berfungsi untuk menghalangi musuh agar tidak bisa mencapai benteng, namun lama-kelamaan parit tersebut hilang teruruk tanah.
Benteng Keraton Yogyakarta memiliki bentuk segi empat yang hampir simetris. Panjang masing-masing sisinya kira-kira 1 km lebih, sehingga panjang keseluruhan hampir 5 km. Ukuran tersebut jelas tidak sebanding dengan panjang tembok kota Hanyang yang mencapai 19 km.
2.         Pasar sebagai Pusat Perekonomian Kota
Seperti yang kita ketahui bahwa pasar adalah tempat terjadinya pertukaran antara pembeli dan penjual serta produsen yang juga ikut terlibat. Pasar tidak hanya ada di kota, tapi juga ada di desa. Adanya pasar di dalam kota pusat kerajaan, maupun di kota bukan pusat kerajaan sangatlah erat hubungannya dengan sifat corak kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota, dilihat dari pengertian ekonomi adalah suatu tempat menetap dimana penduduknya terutama hidup dari perdagangan.
Hal itu sesuai pula dengan kehidupan kota-kota pusat kerajaan dan kota-kota pelabuhan dari zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim bercorak Islam di Indonesia. Kota itu antara lain: Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Banten, Gresik, Jaratan, Jepara, Surabaya, Ternate, Banda, Gowa-Makasar, dan Banjarmasin. Palembang dan yang lainnya banyak dikunjungi pedagang-pedagang besar dan kecil dari berbagai negeri asing dan juga dari daerah kerajaan di Indonesia. Pedagang-pedagang itu memiliki perkampungan sendiri yang disetujui oleh penguasa kota. Lebih lagi bagi serikat dagang asing, lokasi loji atau kantor dagang serta perkampungannya tidak terlepas dari ketentuan perjanjian antara raja dengan mereka. Ada kalanya perkampungan mereka juga terdapat pasar, misalnya di Banten ada pasar dalam perkampungan Cina. Meski demikian lokasi pasar yang berbeda itu tidak lepas dari kepentingan ekonomi masyarakat kota. Bagi kepentingan kalangan atas, pasar tidak boleh diabaikan, terutama karena merupakan pendapatan bagi raja sekeluarga dan para bangsawan serta para elit. Hubungan kota dan desa di sekitarnya juga tidak dapat dipisahkan karena saling tergantung. Petani menjual hasil bumi kepada pedagang di dalam pasar.
Fungsi pasar di kota-kota pelabuhan besar, disamping untuk melengkapi perdagangan lokal juga untuk perdagangan nasional. Sebagai contoh, pasar internasional dimiliki Banten, Demak, Malaka, Ternate dan Tidore dan sebagainya. Pasar yang ada di kota-kota pusat kerajaan atau kota lainnya merupakan salah satu sumber penghasilan raja atau penguasa setempat. Seringkali pasar tergantung pada konsesi serta jaminan perlindungan dari penguasa. Para penguasa itu tertarik karena hal itu merupakan bantuan yang teratur dari barang-barang serta produksi yang diperdagangkan, cukai, uang untuk pasukan dan biaya perlindungan pedagang, tarif-tarif pasar dan cukai dari proses hukum. Para penguasa mengharapkan keuntungan dari para pedagang dalam membayar cukai.
Menurut John Hicks, campur tangan pemerintahan dalam masalah pasar karena setiap pemerintahan harus menghadapi pertengkaran dan pengacauan. Karena mereka itu menghadapi suatu bahaya yang jelas dan politik. Perkumpulan yang terjadi di pasar dapat menjadi ancaman yang potensial sangat berbahaya, dan para penguasa itu tidak hanya tertarik akan keuntungan tapi juga menyangkut hak milik dan untuk melindungi kontrak antara mereka dengan pedagang di pasar. Jelaslah hubungan kepentingan timbal balik antara pihak pedagang dengan pihak penguasa.
Di Indonesia, pasar sebagai salah satu sumber penghasilan raja dibuktikan menurut berita Cina dari tahun 1618 di Banten, setiap hari raja menarik cukai dari pasar. Kemudian di Aceh, pasar dipungut cukai (wase), ini diceritakan melalui hikayat Bustan us Salatin.
Lazimnya untuk kepentingan negara, pembayaran iuran tersebut diserahkan oleh pengutipnya, syahbandar dan hariya, kepada uleebalang dari wilayah yang bersangukutan dari kerajaan Aceh. Dalam susunan birokrasi kerajaan ditetapkan pejabat tertentu yang mengurusi pasar, memungut cukai dan lain-lain. Di Aceh, ada syahbandar dan hariya. Di Jawa, disebut tanda (mungkin sudah ada sejak Majapahit) yang diketahui dari surat Angger-angger abad ke-18 antara Yogyakarta dan Surakarta. Sedang di Makassar, disebut jannanga pasara.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pasar dalam masyarakat kota pusat kerajaan dan mungkin kota lain, berhubungan erat dengan struktur sosial-ekonomi bahkan mungkin dengan struktur politik kerajaan.
3.         Tempat Peribadatan, Masjid
Dalam uraian tentang kota dan bagian-bagiannya, terdapat lokasi tempat peribadatan yang disebut masjid dan langgar atau tajug. Adapun letak masjid tidak terpisahkan dari komposisi tata kota inti dimana terdapat keraton. Pusat kota kerajaan terdiri dari bangunan-bangunan, alun-alun, dan jalan-jalan utama yang memuat ke inti kota.
Masjid dan langgar atau tajug mempunyai fungsi yang berbeda. Masjid merupakan tempat peribadatan yang dapat dipergunakan untuk Sholat Jumat, sedangkan langgar atau tajug umumnya dipergunakan untuk salat berjamaah sehari-hari dan bukan untuk salat Jumat. Oleh karena itu, dalam ukuran serta bangunannya pun berbeda. Masjid umumnya dibangun dalam ukuran besar sedangkan tajug atau langgar cukup untuk menampung beberapa orang saja. Masjid-masjid besar terutama didirikan di pusat-pusat kerajaan seperti di Samudra Pasai, Demak, Banten, Cirebon, Aceh, dan Makassar. Di daerah-daerah kerajaan Melayu biasanya masjid besar dinamakan Masjid Raya, dan di Jawa umumnya disebut Masjid Agung. Adapun sebutan lain untuk masjid besar adalah Masjid Jami.
Masjid maupun langgar dalam arti luas bukan hanya terbatas sebagai tempat untuk melakukan sembahyang atau Sholat, tetapi juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan budaya masyarakat muslim. Oleh sebab itu, di dalam masjid dan langgar diucapkan khotbah-khotbah, tabligh-tabligh mengenai keagamaan-kemasyarakatan untuk kehidupan masyarakat muslim di dunia dan akhirat. Secara tradisional, serambi digunakan untuk kenduri-kenduri seperti mauludan dan lainnya yang bersifat semi-profan.
Masjid dan langgar dipakai pula untuk madrasah dan sewaktu-waktu dipakai untuk menginap dan bahkan untuk tempat pengadilan. Di Jawa, masjid-masjid kuno memiliki bagian yang dinamakan pawestren. Bagian tersebut merupakan ruangan sebelah selatan yang terpisah oleh dinding. G.F Pijper berpendapat bahwa pada zaman dahulu di Jawa, kaum wanita turut serta mengambil bagian dalam melakukan sembahyang di masjid-masjid bersama kaum pria.
Pada masjid-masjid Agung, Raya, atau Jami yang ada di kota-kota pusat kerajaan, pada hari Jumat dan hari-hari tertentu lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha dihadiri pula oleh Sultan. Hal tersebut disebutkan dalam Babad Banten, Babad Tanah Jawi, dan babad lainnya. Kehadiran Sultan disamping melakukan ibadat bersama dengan seluruh tokoh masyarakat kota pusat kerajaan, juga memperhatikan loyalitas para penguasa di bawah raja dan tokoh-tokoh ulama serta masyarakat umum terhadap sultan. Di beberapa masjid dari abad ke-18, seperti Masjid Agung Yogyakarta dan Masjid Jami Sumenep, terdapat bagian yang disebut maksura, suatu tempat yang dikhususkan untuk raja atau sultan pada waktu sembahyang Jumat.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pendirian kota tradisional ditandai dengan adanya penggunaan teknologi yang sederhana, penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas, serta sistem produksi yang masih didominasi tenaga manusia dan tenaga hewan. Dengan minimnya penggunaan ilmu pengetahuan menyebabkan proses pembangunan kota tradisional sering disisipi pemikiran-pemikiran yang tidak rasional atau banyak hal mistis yang tidak dapat diterima dengan akal pikiran manusia tentang alasan dibangunnya kota tersebut. Salah satu contoh yaitu dari pembangunan Kota Surakarta, yang dimulai dari keraton Surakarta.
Pada waktu itu sangat jarang masyarakat Jawa yang menguasai ilmu bumi, ilmu geografi, geologi, ilmu pengairan, atau landasan ilmiah yang lain. Sehingga jalan keluar untuk menterjemahkan kondisi di sekeliling mereka menggunakan nalar yang tidak rasional dengan berdasarkan ilmu nujum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lokasi kota-kota pusat kerajaan di pesisir dan di muara sungai-sungai, merupakan faktor geografis yang penting untuk hubungan lalu lintas dikarenakan akses yang lebih mudah dan cepat. Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan, dengan kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan laut. Sedangkan masyarakat kota agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada pertanian dan untuk kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan darat.
Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam sudah muncul beberapa kota yang maju dengan adanya pembagian kerja yang kontras, bahkan adanya lapisan-lapisan masyarakat, yakni (1) Golongan raja-raja dan keluarganya, (2) Golongan elite, (3) Golongan non-elite, dan (4) Golongan budak.  Pembagian golongan atau lapisan penduduk kota tersebut tidak lain untuk lebih memungkinkan keleluasaan pengklasifikasian golongan pejabat pemerintah, ulama, atau tukang-tukang, pedagang serta petani.
Ada beberapa bangunan penting dalam struktur kota tradisional yakni keraton sebagai pusat kekuasaan dan kediaman raja atau penguasa kota, masjid sebagai tempat peribadatan, pasar sebagai pusat perdagangan, serta perkampungan-perkampungan yang didasarkan pada status sosial tertentu. Aspek fisik lain dari kota ialah adanya tembok atau pagar keliling kota yang berfungsi mencegah gangguan keamanan dari luar kota.
B.       Saran
Sebagaimana setelah memahami dan mempelajari mengenai kota-kota tradisional kerajaan Islam di Indonesia, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk peduli terlibat dan berkontribusi dalam upaya pelestarian situs-situs sejarah tersebut beserta tradisinya agar pada masa yang akan datang tetap terjaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum khususnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan.



DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati. 1993. Sejarah Nasional Indonesia 3. Jakarta : Balai Pustaka

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta : Ombak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar