MAKALAH PEMBELAJARAN NILAI KARAKTER
NILAI-NILAI YANG DIAJARKAN DI SEKOLAH
Makalah
ini disusun guna memenuhi Mata Kuliah Pembelajaran Nilai Karakter
Dosen
Pembimbing: Dr. Leo Agung S., M.Pd
Disusun
Oleh:
Kelompok
3
1.
Muhafiz Ghifari Ahmad [K4412049]
2.
Prastya Kurniasih [K4412061]
3.
Wiwik Setyaningsih [K4412080]
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar.
Shalawat dan salamnya penulis haturkan kepada Nabi pembawa berkah dan penghancur
kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Nilai
Karakter. Selain itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk
mengetahui lebih jauh mengenai nilai-nilai yang perlu diajarkan di sekolah.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat
bimbingan dari beberapa pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis
juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Semoga
makalah ini dapat membuktikan bahwa penulis dapat melaksanakan tugas ini dengan
semaksimal mungkin dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan
pada umumnya.
Surakarta, 24 Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................ i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan....................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Pengertian
Nilai Moral.............................................................................. 3
C. Nilai
Utama, Hormat dan Tanggung Jawab.............................................. 10
D. Nilai-Nilai
Moral yang Sebaiknya Diajarkan Di Sekolah.......................... 14
E. Pengembangan
Nilai yang Menjadi Target Pengajaran............................. 17
BAB
III PENUTUP............................................................................................. 19
A. Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 20
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada
era global saat ini, pendidikan tentang ilmu pengetahuan saja dirasa kurang.
Dunia pendidikan saat ini lebih membutuhkan pendidikan moral agar peserta didik
menjadi insan yang berakhlak mulia. Meski banyak dukungan tentang pendidikan
moral itu sendiri, masih banyak sekolah-sekolah yang ragu untuk melaksanakan
pendidikan moral itu. Para guru khawatir akan penolakan para orang tua terhadap
pemberian pendidikan nilai secara langsung dan sistematis.
Sekolah-sekolah
merasa bingung mengenai penerapan pendidikan moral dan nilai itu, apakah
bertujuan menjadikan anak-anak dapat beradaptasi dengan makna nilai yang telah
mereka dapat, atau hanya mengajarkan saja nilai itu, tanpa tindak lanjut.
Beberapa pendidik berdebat mengenai pengarahan siswa untuk dapat beradaptasi
dengan nilai-nilai yang diajarkan merupakan bentuk indoktrinasi dan
sekolah-sekolah harusnya membatasi diri dari munculnya berbagai pemikiran
kritis tentang pendidikan nilai tersebut. Dalam makalah ini, akan disajikan
tentang nilai-nilai seperti apakah yang seharusnya diajarkan di sekolah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat kita rumuskan
menjadi berikut:
1.
Apakah pengertian nilai
moral itu?
2.
Bagaimana hubungan
antara moralitas dan agama?
3.
Bagaimana pengajaran
dua nilai utama, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab di sekolah?
4.
Apa saja nilai-nilai
yang sebaiknya diajarkan di sekolah?
5.
Bagaimana pengembangan
nilai-nilai yang menjadi target pengajaran?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini antara lain, sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian
nilai moral;
2.
Untuk mengetahui
hubungan antara moralitas dan agama;
3.
Untuk mengetahui pengajaran
dua nilai utama, sikap hormat dan bertanggung jawab;
4.
Untuk mengetahui
nilai-nilai yang sebaiknya diajarkan di sekolah;
5.
Untuk mengetahui
perkembangan nilai-nilai yang menjadi target pengajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nilai Moral
Dalam kehidupan
ini, terdapat dua macam nilai yang bisa dibedakan, yaitu nilai moral dan nilai nonmoral. Termasuk di dalam nilai moral yaitu kejujuran, tanggung
jawab, dan keadilan, dimana hal-hal tersebut dituntut untuk dilakukan dalam
kehidupan ini karena sangat berkaitan dengan orang lain. Kita akan merasa
dituntut untuk menepati janji, membayar tagihan, memberi nafkah kepada
keluarga, berlaku adil dalam pergaulan di masyarakat, dan sebagainya.
Nilai-nilai moral meminta kita untuk melaksanakan apa yang sebaiknya kita
lakukan, meski terkadang kita tidak ingin melakukannya.
Sedangkan
nilai-nilai nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral. Nilai
nonmoral lebih menunjukkan sikap yang berhubungan dengan apa yang kita inginkan
ataupun yang kita suka, dan cenderung tidak terkait dengan orang lain. Misalnya
saja, nilai ketika mendengarkan musik ataupun membaca novel, perilaku yang kita
lakukan cenderung bebas dan tidak dituntut oleh lingkungan masyarakat.
Kemudian,
nilai-nilai moral tadi juga masih dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal termasuk di dalamnya
memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup, kemerdekaan
dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang dimanapun mereka berada karena kita
telah menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri.
Kita memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut agar kita semua dapat berlaku
sejalan dengan nilai-nilai moral yang berlaku secara universal ini.
Lebih rincinya,
nilai moral universal ini mengadopsi Declaration of Human Rights, dimana
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, hak untuk melindungi diri, hak
untuk bebas dari perbudakan, hak untuk hidup layak, hak untuk hidup
berkeluarga, hak kesetaraan hidup, hak berorganisasi, hak beragama, dan
sebagainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa nilai moral universal merupakan nilai
moral yang mencakup dasar-dasar nilai bagi setiap manusia di dunia, tanpa
memandang perbedaan-perbedaan yang dimiliki satu sama lain.
Sebaliknya,
nilai-nilai moral yang bersifat nonuniversal
tidak membawa tuntutan moral yang bersifat universal.
Ini adalah nilai-nilai seperti kewajiban yang berlaku pada agama-agama
tertentu, misalnya berpuasa, memperingati hari besar, dan sebagainya, yang
secara individu menjadi tuntutan yang cukup penting tapi tidak dirasakan sama
oleh orang lain.
B.
Hubungan
Moralitas dan Agama
Kita hidup dalam masyarakat yang secara
religi sangat beragam. Pernyataan ini dapat ditemukan dalam prinsip Amandemen
Pertama yang menyebutkan bahwa pemerintah “tidak boleh membentuk hukum khusus
untuk menghormati suatu agama tertentu atau menentang ritual agama tertentu.”
Bagi sebagian pendidik, kondisi masyarakat kita yang terdiri atas orang-orang
dengan beragam latar belakang keyakinan dan beragam agama, dipandang sebagai
penghalang dalam memberikan pendidikan moral. Mereka berpikir, “Bukankah
moralitas akan membawa Anda kedalam agama, lantas bagaimana sekolah dapat masuk
ke sana tanpa melanggar Amandemen Pertama?”
Terdapat tujuh poin yang sangat relevan
mengenai hubungan moralitas dan agama, antara lain:
1.
Kebanyakan orang di
negara ini menganut agama dan memiliki identitas yang cenderung berbeda –
beda. Pada tanggal 27 Maret 1989, sebuah polling
yang dilakukan oleh Newsweek, seperti
94% warga Amerika mengatakan bahwa meyakini adanya Yang Maha Berkuasa. Pada
tahun 1981 polling nasional yang
dilakukan oleh Research and Forecast,
Inc; menemukan bahwa sepertiga masyarakat Amerika menyatakan bahwa mereka
adalah masyarakat yang “beragama”. Bagi sebagian besar masyarakat, bimbingan
yang pertama dan utama dalam pembentukan moral adalah berlandaskan pada agama
yang mereka anut.
2.
Agama bagi kebanyakan
orang merupakan sebuah acuan utama yang membawa mereka membentuk kehidupan yang
bermoral. Meskipun agama memiliki banyak perbedaan mengenai apa yang harus
dilakukan umatnya dalam beribadah, mereka semua memiliki kesamaan prinsip bahwa
setiap tindakan yang mereka lakukan dalam hidup ini, termasuk pilihan akan
perilaku moral, akan memberikan dampak yang sebanding dimasa yang akan datang
(akhirat).
3.
Melalui pandangan
tentang agama secara umum, Tuhan adalah Maha Pemberi Pertolongan, yang Maha
Tinggi, dimana kita sebagai makhluk-Nya memiliki kewajiban untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan.
Seorang mantan pendidik Barbara Jones
mengutarakan: “Penurunan moralitas di negara ini bermula ketika berbagai
institusi keagamaan mulai kehilangan peran di dalam masyarakat, dan moralitas
sendiri kini tidak menyatu dengan perilaku yang bermoral. Kebanyakan dari kita
sekarang sudah mulai melakukan tindakan yang baik tanpa merasa perlu akan
pertolongan Tuhan.”
4.
Para perintis negeri
telah melihat adanya hubungan yang sangat dekat antara agama dan hak-hak asasi
manusia serta sistem pemerintahan demokrasi. Deklarasi kemerdekaan pun yang
memberi sebuah pandangan moral bagi konstitusi Amerika, menyertakan bahwa
negara ini tidak dapat membentuk hak-hak asasi sendiri, kecuali berlandaskan
pada petunjuk yang diberikan Tuhan (“Dan kami memegang teguh kebenaran tersebut
secara pribadi, bahwa setiap manusia diciptakan sama, dan mereka masing-masing
memiliki suatu anugerah yang di berikan Tuhan, dengan berbagai kewenangan-Nya
yang tidak mungkin dapat dijalankan oleh manusia, yang didalamnya termasuk
kehidupan, kemerdekaan dan usaha dalam meraih kemenangan”).
Dalam pidato perpisahan Presiden George
Washington pada tahun 1796, Beliau memberikan pesan bagi negara untuk melawan
keterpurukan hubungan antara moralitas dan agama. “Baik sebagai alasan dan
pengalaman,” begitu beliau mengatakan, “Keduanya menghalangi kita untuk berpandangan
bahwa moralitas negeri ini akan menjadi lebih bila prinsip-prinsip keagamaan
dihilangkan.” Sebagai wakil presiden didalam konstitusi yang baru, John Adams
mengungkapkan suatu hal yang sejalan dengan kesempatan yang dimilikinya ketika
beliau menulis: “Ketika tidak memiliki pemerintah yang dilengkapi dengan
kekuatan yang mampu menandingi keinginan manusia yang terkendalikan oleh moral
dan agama. Konstitusi yang kami buat hanyalah untuk mereka yang bermoral dan
beragama.”
Agama kemudian berlanjut menjadi suatu
dukungan moral yang muncul dalam kehidupan di Amerika. Para pemimpin sosial
reformis melakukan berbagai usaha perubahan mulai dari pembebasan perbudakan
sampai dengan sebuah upaya pada abad ke-20 dalam membuat hak-hak warga negara
yang berlandaskan pada nilai agama: Kita semua sama di mata Tuhan, kita adalah
makhluk-Nya yang diperintahkan untuk hidup berdampingan dalam kesetaraan,
harmoni dan keadilan. Pandangan religius tersebut sebenarnya bukan dikikis oleh
mereka yang menyatakan percaya terhadap kasih sayang Tuhan. Namun, pada
kenyataannya mereka melakukan tindakan yang tidak bertoleransi dan saling
membenci satu sama lain.
5.
Kebanyakan siswa saat
ini bersikap acuh terhadap peran agama dalam pembentukan moral dan pembangunan negeri. Salah satu alasannya
adalah sejak tahun 1960-an, nilai-nilai agama di Amerika perlahan mulai pudar
dari buku-buku teks yang digunakan oleh para siswa. Pada tahun 1986, seorang
profesor New York University, Paul Vitz, meluncurkan bukunya, yang memunculkan
banyak diskusi, Yaitu Censorship:
Evidence of Bias in Our Textbook (sebuah batasan: Bukti dari makna Bias
dalam buku-buku pelajaran sekolah), yang mencantumkan satu persatu contoh
potret agama yang perlahan hilang dari konteks sekolah.
Sebuah buku Ilmu Sosial SD, misalnya
yang berisi sekitar 30 halaman yang bertahap. Diawali dengan ucapan syukur, tetapi
bukan dalam bentuk kata-kata atau gambaran yang mengarah ke sebuah agama
sebagai bagian dari kehidupan sebuah umat. Di dalam buku yang lain yang dikutip
oleh Vitz, yaitu sebuat cerita Nobel
Laureate Jewish dengan penulis Isaac Bashevis Singer disebutkan: Dalam
cerita yang asli, serang anak laki-laki “berdoa
kepada Tuhan,” dan dalam kalimat lain “bersyukur
kepada Tuhan” dalam versi baru teks yang telah diedit, kata-kata yang
mengandung kalimat “berdoa kepada Tuhan” perlahan
dihilangkan, dan rasa syukur dalam “Thank
God” berubah menjadi “Thank Godness”.
Belakangan ini, secara politik kelompok
masyarakat liberal, seperti People for
American Way dan Americans United for
the Separation of Church and State telah memunculkan banyak kritik dalam rangka
pemasukan kembali agama-agama dalam beberapa bidang yang sesuai, seperti sejarah
dan budaya Amerika. Sekolah-sekolah lebih jauhnya lebih menekankan anak-anak
didiknya untuk mengunakan seluruh sumber – sumber ilmu pengetahuan dan budaya,
termasuk nilai-nilai keyakinan beragama di dalamnya. Ketika mereka dihadapkan
pada isu-isu sosial (sebagai contoh, “apa yang seharusnya kita lakukan kepada
orang-orang miskin?”) dan juga dalam membuat keputusan moral yang bersifat
individual (seperti, ”apakah dibernarkan jika seseorang melakukan hubungan seks
sebelum menikah?”).
6.
Banyak sekali orang
yang hidup beragama, tetapi tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan.
Ada juga untuk beberapa alasan, justru mempunyai perilaku yang melanggar
perintah agama. Mereka tidak ingin anak-anak mereka diajarkan bahwa seseorang
yang bermoral harus juga menjadi seseorang yang beragama. Akan tetapi disisi
lain, mereka merasa memiliki nilai benar dalam prinsip mereka yang menentang
pendidikan agama di sekolah (dalam peranannya pada sejarah dan budaya), yang
merupakan tindakan diluar prinsip konstitusi yang berlaku, yaitu menyebarkan
agama sebagai sesuatu yang baik dan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sekolah-sekolah negeri memiliki 2 hal yang menjadi tugas utama: secara akurat
sekolah seharusnya memberikan gambaran tentang peranan agama dalam sejarah dan
mengajak para siswa untuk mengaitkan apa yang telah mereka pelajari dengan perintah
yang ada dalam agama mereka masing –masing mengenai pertanyaan moral yang
muncul; tetapi mereka juga harus dapat menemukan sebuah dasar dari definisi dan
pengajaran moral yang menekankan pada aspek rasional tanpa melibatkan agama.
7.
Langkah-langkah dalam
mendefinisikan moral secara rasional yang dapat diterima oleh semua pihak
didasarkan pada sebuah prinsip klasik tentang ketuhanan, gagasan dari “dasar
hukum moral” yang telah dibuktikan dalam berbagai penelitian psikologi.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah berupa studi yang menyangkut
penalaran moral anak-anak, yang dilakukan oleh seorang psikolog dari University
of Illionis, Larry Nuccy. Beliau menanyakan kepada beberapa ratus anak-anak
Yahudi, Katholik dan Protestan tentang perilaku-perilaku buruk seperti memukul,
mencuri, merusak nama baik orang lain (mengejek). Apakah hal-hal tersebut tetap
menjadi sesuatu yang salah jika Tuhan tidak melarang perbuatan tersebut?.
Hampir semua anak-anak dari semua agama tersebut mengatakan ya, bahwa tindakan-tindakan tersebut
merupakan sesuatu yang salah. Lebih jauhnya, sebanyak 100% dari alasan anak-anak
tersebut menyatakan bahwa pada kenyataannya perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan bentuk ketidakadilan dan membahayakan orang lain.
Dalam
sebuah bagian dari studi yang dilakukannya, Nucci bertanya kepada anak-anak
bagaimana mereka tahu apa yang diperintahkan Tuhan merupakan sesuatu yang benar
dan apakah ada perintah-perintah Tuhan yang secara moral baik, tetapi menurut
pandangan mereka adalah sesuatu yang sebaliknya. Dibawah ini sebuah contoh
wawancara yang dilakukan dengan seorang anak Yahudi berusia 10 tahun, Michael
(nama samaran):
Penanya: Michael bagaimana kita tahu kalau apa
yang dituliskan dalam Taurat itu adalah hal yang benar untuk dilakukan ?
Michael: Tuhan tidak akan menyakiti kita atau
melakukan hal-hal buruk pada kita. Kita percaya pada Tuhan, kita menganggap
bahwa Tuhanlah yang menuliskan Taurat, dan kita berpikir bahwa Tuhan akan
menyukai kita kalau kita melakukan semua yang diperintahkan, dan kita juga
berpikir bahwa kita hadir dihadapan Tuhan kalau kita sedang berdoa dengan
mengikuti aturan-aturannya.
Penanya: Baiklah tapi bagaimana kita bisa yakin
bahwa yang dikatakan Tuhan pada kita itu adalah hal yang benar ?
Michael: Kita sudah mencobanya. Kita coba saja
semua aturan yang ada di Taurat dan kita akan tahu.
Penanya: Mari kita andaikan bahwa Tuhan menuliskan
di dalam Taurat agar orang Yahudi mencuri. Lalu apakah benar jika orang Yahudi
mencuri ?
Michael: TIDAK.
Penanya: Mengapa tidak?
Michael: Meskipun Tuhan mengatakan begitu, kita
tahu dia tidak bermaksud begitu, karena mencuri itu sangat tidak baik. Mungkin
itu hanya sebuah ujian, tapi kita tahu kalau Tuhan tidak bermaksud begitu.
Penanya: Mengapa Tuhan tidak bermaksud begitu?
Michael: Karena Tuhan itu Maha Baik, Maha Sempurna.
Penanya: Dan karena dia orang yang maha sempurna
dia tidak akan menyuruhmu mencuri? Mengapa tidak ?
Michael: Ya, karena kita tidak sempurna, tapi
kita masih bisa mengerti. Kita tidak bodoh. Kita masih bisa mengerti kalau
mencuri itu tidak baik.”
Respon
Michael terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Nucci adalah respon biasa
yang diberikan kepada anak-anak, sama seperti yang diberikan oleh anak-anak
dari keyakinan lain. Apa yang dikatakan ana-anak ini adalah bahwa Tuhan yang
baik tidak akan memerintahkan hal-hal yang buruk seperti mencuri dan bahkan
anak-anak sekalipun.
Riset
ini memberikan sebuah dukungan baru terhadap apa yang telah lama diyakini oleh
para teolog dan filsuf: Terdapat hukum moral alamiah yang melarang manusia
berbuat tidak adil terhadap orang lain dan dapat dirasakan menggunakan akal
manusia. Hukum moral alamiah ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam prinsip-prinsip
agama (seperti “Sayangilah tetanggamu” dan” Janganlah kamu mencuri”) tetapi
memiliki logika independenya sendiri yang dapat ditangkap oleh anak-anak
sekalipun. Implikasi pendidikan dari hukum alamiah universal ini sangat
penting: hukum ini memberi kandungan moral obyektif pada sekolah- “Bersikaplah
adil dan peduli terhadap orang lain” -yang dapat diajarkan secara sah ditengah-tengah
masyarakat yang beragama dalam segi agama.
C.
Sikap
Hormat dan Tanggung Jawab
Hukum moral
alamiah yang dapat digunakan untuk mendasari agenda moral sekolah dapat
diekspresikan dalam dua macam nilai dasar yaitu sikap hormat dan tanggung
jawab. Kedua nilai ini merupakan dasar moralitas utama yang berlaku secara
universal. Kedua nilai ini memiliki kelayakan obyektif dan dapat ditunjukkan
fungsinya terhadap kebaikan individual maupun kebaikan seluruh masyarakat.
Nilai sikap hormat dan tanggung jawab sangat penting untuk:
1.
Membangun
kesehatan pribadi;
2.
Menjaga
hubungan interpersonal;
3.
Membangun
masyarakat yang demokratis dan berkeperimanusiaan;
4.
Membentuk
dunia yang adil dan damai.
Sikap hormat dan
bertanggung jawab merupakan hal yang bukan hanya boleh tetapi harus diajarkan
di sekolah untuk membangun manusia-manusia yang secara etis berilmu dan dapat
memposisikan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab.
1.
Sikap
Hormat
Sikap hormat berarti menunjukkan penghargaan kita
terhadap harga diri orang lain atau pun hal lain selain diri kita. Nilai ini
memiliki tiga macam bentuk utama, yaitu sikap hormat terhadap diri sendiri,
sikap hormat terhadap orang lain, sikap hormat terhadap semua bentuk kehidupan
dan lingkungan yang menunjangnya.
Sikap hormat terhadap diri sendiri menuntut kita
untuk memperlakukan kehidupan kita sendiri dan manusia lain sebagai manusia
yang memiliki nilai secara alami. Oleh karena itu perilaku yang merusak diri
sendiri seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol merupakan hal yang salah.
Dalam keseharian di sekolah perwujudan sikap menghormati diri sendiri bisa kita
tunjukkan dengan kerapian dan kebersihan pakaian seragam kita. Kita akan merasa
lebih baik dan percaya diri apabila apa yang kita pakai dalam keadaan bersih
dan rapi.
Sikap hormat kepada orang lain menuntut kita untuk
memperlakukan semua orang termasuk orang-orang yang membenci kita atau yang
kita benci sebagai manusia yang memiliki harga diri serta hak yang sama dengan
diri kita. Hal ini merupakan intisari dari Kaidah Kenca yaitu “Perlakukan orang
lain sama sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”. Perwujudan sikap
menghormati orang lain di sekolah yaitu misalnya dengan berkata sopan dan jujur
terhadap semua warga sekolah. Mendengarkan ketika guru sedang memberikan materi
pelajaran atau diam tidak memotong pembicaraan orang lain baik guru ataupun
teman kita.
Sikap hormat terhadap seluruh jaringan kehidupan
yang kompleks atau alam yang menunjang kehidupan kita melarang perbuatan kejam
terhadap hewan dan memerintah kita untuk berbuat baik kepada lingkungan alam,
ekosistem yang kepadanya seluruh kehidupan bergantung. Misalnya saja di halaman
sekolah terdapat rerumputan yang dihuni belalang dan kupu-kupu peserta didik
sebagai warga sekolah harus menghormati ekosistem yang ada dengan tidak
menganggu/merusak habitat kupu-kupu dan belalang tersebut.
Bentuk lain dari sikap hormat dapat terlihat dari
hal-hal berikut ini. Rasa hormat terhadap sesuatu yang dimiliki sebagai contoh,
muncul dari suatu pemahaman bahwa apa yang kita miliki merupakan bagian dari
diri kita ataupun masyarakat kita. Rasa hormat terhadap suatu kewenangan muncul
dari pemahaman bahwa gambaran dari legitimasi wewenang merupakan pengalihan
bentuk kepedulian kepada orang lain. Tanpa adanya orang yang berwewenang, kita
tidak mungkin dapat menjalani kehidupan keluarga, sekolah maupun negara. Ketika
orang-orang tidak lagi menghargai suatu kewenangan maka segala sesuatunya tidak
akan berjalan dengan baik dan semua orang akan merasakan akibatnya.
Sopan santun juga merupakan bentuk lain dari
penghormatan terhadap orang lain. Di dalam suatu kelas misalnya ketika seorang
guru sedang memberikan materi pelajaran dan banyak siswa yang berdiskusi
sendiri tanpa ada kaitannya dengan materi, maka guru tersebut akan berhenti dan
memberikan kesempatan siswanya untuk berdiskusi sebentar dan meminta maaf
kepada guru tersebut. Atau apabila mereka ingin pergi ke kamar mandi maka
mereka diajari untuk meminta izin terlebih dahulu bukan seenaknya sendiri
keluar dari ruang kelas. Selain kedua contoh diatas wujud dari sikap hormat
kepada warga sekolah bisa diterapkan kepada pelayan kantin atau pemiliknya.
Ketika siswa sedang berada dikantin untuk makan siang atau lainnya mereka
dibiasakan untuk mengucapkan terima kasih. Mereka diajari bahwa seluruh seluruh
perilaku tersebut bukanlah sekedar gerak-gerik tubuh mekanis, tetapi merupakan
cara yang penuh makna dalam menunjukkan sikap hormat pada orang lain.
Sikap hormat juga merupakan prinsip utama demokrasi.
Sikap hormat terhadap orang lainlah yang yang menuntun orang untuk menciptakan
konstitusi yang mewjibkan negara melindungi, tidak melanggar hak-hak masyarakat
yang diaturnya.
Misi moral pertama dari sekolah adalah mengajarkan
nilai dasar sikap hormat terhadap diri sendiri orang lain dan lingkungan.
2.
Tanggung
Jawab
Tanggung jawab merupakan bentuk lanjutan dari sikap
hormat. Apabila kita menghormati orang lain, berarti kita menghargainya.
Apabila kita menghargai mereka, berarti kita merasakan suatu ukuran rasa
tanggung jawab untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka.
Secara harfiah, tanggung jawab berarti kemampuan
untuk menanggung atau merespon. Hal ini berarti tanggung jawab berorientasi
terhadap orang lain, memberi perhatian terhadap mereka, dan tanggap terhadap
kebutuhan mereka. Tanggung jawab menekankan pada kewajiban positif untuk saling
peduli satu sama lain.
Rasa hormat, dilihat dari perbandingannya lebih
menekankan pada kewajiban kita yang terkadang berbentuk negatif. Sebagian dari
isinya menyangkut apa yang tidak boleh dilakukan. Hal tersebut biasanya disebut
“moralitas larangan”. Misalnya ada guru mengatakan “ Janganlah kamu menyontek ”
mengandung makna “kamu rajinlah belajar”.
Akan tetapi sekedar larangan moral saja belum cukup.
Sebuah etika bertanggung jawab memberikan makna nilai moral yang seharusnya.
Jika sikap hormat mengatakan “jangan sakiti” maka rasa tanggung jawab
mengatakan “berilah pertolongan”. Dari kedua contoh perintah tersebut tidak
menyebutkan seberapa besar kita harus berkorban, memberi kepada yang
membutuhkan, bekerja untuk masyarakat atau hadir kepada orang-orang yang
membutuhkan kita. Tetapi sebuah tanggung jawab moral tidak secara langsung
meminta kita untuk “mengorbankan” sesuatu atau tanggung jawab menunjukkan
kepada kita arah yang benar. Tanggung jawab bersifat meminta kita untuk
mencoba, melalui cara apapun yang kita dapat dari sekedar tahu sampai dengan
mendukung satu sama lain, meringankan beban sesama dan membuat dunia ini
sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Tanggung jawab merupakan sikap dapat diandalkan,
tidak mengabaikan orang lain yang sedang kesulitan. Kita menolong orang-orang
dengan memegang komitmen yang telah kita buat, apabila kita tidak menolong mereka
artinya kita membuat kesulitan baru bagi mereka.
Penekanan terhadap tanggung jawab merupakan hal yang
sangat penting dilakukan saat ini. Hal ini karena ketika orang berfikir tentang
moralitas mereka cenderung mengedepankan pemenuhan hak dengan mengabaikan
pemenuhan kewajiban sehingga banyak orang disalahkan karena hak pribadi tidak
terpenuhi. Sehingga hal ini dapat memunculkan benih pertikaian dan kekerasan.
Hak-hak merupakan suatu bagian tambahan dalam konteks moralitas. Akan tetapi
salah satu tantangan moral yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dan bagaimana membentuk para pemuda
untuk memiliki kepekaan yang baik terhadap kedua hal tersebut.
Contoh sikap tanggung jawab di lingkungan sekolah:
seorang anak ditunjuk sebagai ketua kelas oleh wali kelasnya dengan musyawarah
kelas. Maka ketua kelas terpilih tersebut mempunyai tanggung jawab terhadap
anggota kelasnya. Sehingga dia memiliki hak dan kewajiban yang harus terpenuhi.
D. Nilai-nilai
Moral Yang Sebaiknya Diajarkan di Sekolah
Selain sikap hormat dan bertanggung jawab, masih
banyak bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah, yang
merupakan kelanjutan dari rasa hormat
dan tanggung jawab maupun menjadi media pendukung untuk bersikap hormat dan
bertanggung jawab, antara lain:
1.
Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu bentuk nilai yang
dalam hubungannya dengan manusia adalah tidak menipu, tidak berbuat curang
maupun mencuri, hal itu menjadi salah satu cara menghormati orang lain.
2.
Keadilan
Sikap adil mengharuskan kita untuk memperlakukan
orang-orang tanpa membeda-bedakan, tapi harus tetap sesuai porsi masing-masing.
3.
Toleransi
Toleransi merupakan bentuk refleksi dari sikap
hormat. Meskipun toleransi dapat berbaur menjadi sebuah relativisme netral
untuk menghindari berbagai prasangka yang menyangkut etika, toleransi pada
akhirnya adalah tanda dari salah satu arti kehidupan yang beradab. Toleransi
ini merupakan sikap yang memiliki kesetaraan dan tujuan bagi mereka yang
memiliki pemikiran, ras dan keyakinan berbeda-beda. Toleransi adalah sesuatu
yang membuat dunia setara dari berbagai bentuk perbedaan.
4.
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan dapat menjadikan kita menghormati diri
sendiri, misalnya kita menjauhi diri kita dari hal-hal yang dapat membahayakan
diri baik secara fisik maupun moral (sejalan dengan gagasan klasik,
“menghindari hal-hal yang menimbulkan dosa”).
5.
Disiplin
diri
Sedangkan disiplin diri membentuk diri kita untuk
tidak mengikuti keinginan hati yang mengarah pada perendahan nilai diri atau
perusakan diri, tetapi untuk mengejar apa-apa yang baik bagi diri kita, dan
untuk mengejar keinginan sehat dan positif dalam kadar yang sesuai. Disiplin
diri juga membentuk diri kita untuk tidak mudah puas terhadap apa yang telah
diraih, dengan cara mengembangkan kemampuan, bekerja dengan manajemen waktu
yang bertujuan dan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan.
6.
Tolong
menolong
Sikap tolong-menolong membantu kita dalam
menyelesaikan tanggung jawab terhadap etika berlaku secara luas. Jiwa
tolong-menolong memberikan bimbingan untuk berbuat kebaikan dengan hati.
7.
Peduli
sesama
Sikap ini memiliki arti “berkorban untuk”, yang
dapat membantu kita untuk tidak hanya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab
kita, tapi juga merasakannya.
8.
Kerja
sama
Sikap saling bekerja sama mengenal bahwa “tidak ada
yang mampu hidup sendiri di sebuah pulau” dan dunia yang semakin sering
membutuhkan, kita harus bekerja bersama-sama dalam meraih tujuan yang pada
dasarnya sama dengan upaya pertahanan diri.
9.
Keberanian
Sikap berani akan membantu para pemuda untuk
menghormati diri mereka sendiri agar dapat bertahan dalam berbagai tekanan
teman-teman sebaya untuk melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatan hidup
mereka. Sikap berani juga membentuk kita semua untuk menghormati hak-hak orang
lain ketika kita menghadapi sebuah tekanan yang memaksa kita untuk bergabung
dalam sikap yang mengarah pada ketidakadilan. Keberanian juga membentuk kita
untuk bertindak tegas dan positif terhadap orang lain.
10.
Sikap
demokratis
Sangatlah mudah untuk melihat bagaimana nilai-nilai
tersebut membentuk sebuah masyarakat berdasarkan pada rasa hormat dan tanggung
jawab. Aturan hukum, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan makna dari sebuah
proses, argumen yang beralasan, adanya perwakilan pemerintahan, check and balance, pengambilan keputusan
yang demokratis, semua hal tersebut merupakan “nilai-nilai prosedural” yang
diambil secara bersama-sama dan kemudian menjadi definisi dari demokrasi.
Demokrasi, pada gilirannya merupakan cara yang
diketahui terbaik dalam menjamin keamanan dari hak asasi masing-masing individu
(untuk memiliki rasa hormat) dan juga mengangkat makna dari kesejahteraan umum
(bersikap baik dan bertanggung jawab kepada semua orang). Mendidik sebuah
pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi tersebut dan bagaimana
mereka membangunn realitas melalui hukum-hukum yang berlaku merupakan bagian
utama dari perubahan moral yang terjadi di sekolah. Nilai-nilai tersebut juga
membantu kita untuk mendefinisikan makna “patriotisme” yang seharusnya
diajarkan di sekolah. Dalam sebuah demoktasi, patriotisme bukanlah berarti,
“Inilah negeriku, dengan segala yang benar dan yang salah.” Dengan demikian,
loyalitas berada pada nilai-nilai demokratis, dimana negeri inipun dibangun
atas hal tersebut.
E.
Pengembangan
Nilai Yang Menjadi Target Pengajaran
Sebaiknya, dalam
mengembangkan nilai yang menjadi target pengajaran di sekolah, dimulai dengan
pengajaran nilai hormat dan tanggung jawab. Kedua nilai tersebut dapat membantu
dan menutup dengan pemahaman akan sebagian atau bahkan seluruh nilai-nilai
tersebut. Selain itu, pengaplikasian proses, melalui penyusunan tahapan
pengajaran nilai masih menjadi hal yang penting pula. Proses tersebut merupakan
sebuah kesempatan untuk membawa atau setidaknya untuk survei input seluruh
guru, staf administrasi, staf sekolah bidang lain, orang tua, siswa dan
perwakilan masyarakat untuk mendapat dukungan dalam skala besar. Lebih jauhnya,
sejumlah sekolah/wilayah yang ikut terlibat dalam program ini lebih cenderung
untuk menjadikan program yang dimaksud sebagai program khusus dan menjadi
prioritas daerah.
Cara dalam
mencari tahu titik kelemahan moral kita bersifat instruktif bila harus
dihadapkan pada beragamnya masyarakat, khususnya negara yang penduduknya
memiliki masyarakat yang berbeda dengan yang kita miliki. Mendapat kesepahaman
tentang nilai-nilai yang diajarkan tentunya tidak akan menjamin bahwa
orang-orang akan sepaham menangani bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai
tersebut di dalam setiap kesepatan. Itu adalah hal paling utama dalam
pendidikan nilai, khususnya ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh
perbedaan pandangan moral atau adanya sebuah kecenderungan dari pihak lain.
Misalnya, ukuran seperti apa yang seharusnya diberikan pada “rasa hormat
terhadap kehidupan” dan “kebebasan memilih dalam perdebatan mengenai isu
aborsi? Apa makna “patriotisme” pada masa peperangan?
Namun,
ketidaksepahaman dalam tahap aplikasi atau pelaksanaan janganlah mengaburkan
makna dari nilai-nilai itu sendiri atau menghilangkan bukti-bukti bahwa
sebenarnya kebanyakan waktu yang kita gunakan untuk menerjemahkan makna nilai
moral yang telah kita tahu ke dalam kehidupan sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
kehidupan ini, terdapat dua macam nilai yang bisa dibedakan, yaitu nilai moral dan nilai nonmoral. Termasuk di dalam nilai moral yaitu kejujuran, tanggung
jawab, dan keadilan, dimana hal-hal tersebut dituntut untuk dilakukan dalam
kehidupan ini karena sangat berkaitan dengan orang lain. Sedangkan nilai-nilai
nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral.
Bagi
sebagian pendidik, kondisi masyarakat kita yang terdiri atas orang – orang
dengan beragam latar belakang keyakinan dan beragam agama, dipandang sebagai
penghalang dalam memberikan pendidikan moral. Terdapat hukum moral alamiah yang
melarang manusia berbuat tidak adil terhadap orang lain dan dapat dirasakan
menggunakan akal manusia. Hukum moral alamiah ini sejalan dengan yang dikemukakan
dalam prinsip – prinsip agama (seperti “Sayangilah tetanggamu” dan” Janganlah
kamu mencuri”) tetapi memiliki logika
independenya sendiri yang dapat ditangkap oleh anak – anak sekalipun. Nilai
sikap hormat dan tanggung jawab sangat penting untuk:
1.
Membangun kesehatan
pribadi
2.
Menjaga hubungan
interpersonal
3.
Membangun masyarakat
yang demokratis dan berkeprimanusiaan
4.
Membentuk dunia yang
adil dan damai
Dari
sikap hormat dan tanggung jawab itu, kita bisa tanamkan nilai-nilai lain
seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong
menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian dan demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Lickona, Thomas. 2013. Educating for Character (Mendidik untuk
Membentuk Karakter). Jakarta: Bumi Aksara
Dharma Kesuma, dkk.
2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori
dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar