24 Juni 2014

Pembelajaran Nilai Karakter : Nilai-nilai Yang Diajarkan di Sekolah

MAKALAH PEMBELAJARAN NILAI KARAKTER
NILAI-NILAI YANG DIAJARKAN DI SEKOLAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Mata Kuliah Pembelajaran Nilai Karakter
Dosen Pembimbing: Dr. Leo Agung S., M.Pd
Disusun Oleh:
Kelompok 3
1.                  Muhafiz Ghifari Ahmad                     [K4412049]
2.                  Prastya Kurniasih                                [K4412061]
3.                  Wiwik Setyaningsih                            [K4412080]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang benar. Shalawat dan salamnya penulis haturkan kepada Nabi pembawa berkah dan penghancur kebatilan, Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Nilai Karakter. Selain itu tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai nilai-nilai yang perlu diajarkan di sekolah.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak menemui kesulitan. Namun berkat bimbingan dari beberapa pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar tugas ini menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat membuktikan bahwa penulis dapat melaksanakan tugas ini dengan semaksimal mungkin dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan rekan-rekan pada umumnya.



                                                                                      Surakarta, 24 Maret 2014


               Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.    Pengertian Nilai Moral.............................................................................. 3
B.     Hubungan Moralitas dan Agama.............................................................. 4
C.     Nilai Utama, Hormat dan Tanggung Jawab.............................................. 10
D.    Nilai-Nilai Moral yang Sebaiknya Diajarkan Di Sekolah.......................... 14
E.     Pengembangan Nilai yang Menjadi Target Pengajaran............................. 17
BAB III PENUTUP............................................................................................. 19
A.    Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 20





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pada era global saat ini, pendidikan tentang ilmu pengetahuan saja dirasa kurang. Dunia pendidikan saat ini lebih membutuhkan pendidikan moral agar peserta didik menjadi insan yang berakhlak mulia. Meski banyak dukungan tentang pendidikan moral itu sendiri, masih banyak sekolah-sekolah yang ragu untuk melaksanakan pendidikan moral itu. Para guru khawatir akan penolakan para orang tua terhadap pemberian pendidikan nilai secara langsung dan sistematis.
Sekolah-sekolah merasa bingung mengenai penerapan pendidikan moral dan nilai itu, apakah bertujuan menjadikan anak-anak dapat beradaptasi dengan makna nilai yang telah mereka dapat, atau hanya mengajarkan saja nilai itu, tanpa tindak lanjut. Beberapa pendidik berdebat mengenai pengarahan siswa untuk dapat beradaptasi dengan nilai-nilai yang diajarkan merupakan bentuk indoktrinasi dan sekolah-sekolah harusnya membatasi diri dari munculnya berbagai pemikiran kritis tentang pendidikan nilai tersebut. Dalam makalah ini, akan disajikan tentang nilai-nilai seperti apakah yang seharusnya diajarkan di sekolah.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat kita rumuskan menjadi berikut:
1.         Apakah pengertian nilai moral itu?
2.         Bagaimana hubungan antara moralitas dan agama?
3.         Bagaimana pengajaran dua nilai utama, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab di sekolah?
4.         Apa saja nilai-nilai yang sebaiknya diajarkan di sekolah?
5.         Bagaimana pengembangan nilai-nilai yang menjadi target pengajaran?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain, sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui pengertian nilai moral;
2.         Untuk mengetahui hubungan antara moralitas dan agama;
3.         Untuk mengetahui pengajaran dua nilai utama, sikap hormat dan bertanggung jawab;
4.         Untuk mengetahui nilai-nilai yang sebaiknya diajarkan di sekolah;
5.         Untuk mengetahui perkembangan nilai-nilai yang menjadi target pengajaran.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Nilai Moral
Dalam kehidupan ini, terdapat dua macam nilai yang bisa dibedakan, yaitu nilai moral dan nilai nonmoral. Termasuk di dalam nilai moral yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, dimana hal-hal tersebut dituntut untuk dilakukan dalam kehidupan ini karena sangat berkaitan dengan orang lain. Kita akan merasa dituntut untuk menepati janji, membayar tagihan, memberi nafkah kepada keluarga, berlaku adil dalam pergaulan di masyarakat, dan sebagainya. Nilai-nilai moral meminta kita untuk melaksanakan apa yang sebaiknya kita lakukan, meski terkadang kita tidak ingin melakukannya.
Sedangkan nilai-nilai nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral. Nilai nonmoral lebih menunjukkan sikap yang berhubungan dengan apa yang kita inginkan ataupun yang kita suka, dan cenderung tidak terkait dengan orang lain. Misalnya saja, nilai ketika mendengarkan musik ataupun membaca novel, perilaku yang kita lakukan cenderung bebas dan tidak dituntut oleh lingkungan masyarakat.
Kemudian, nilai-nilai moral tadi juga masih dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal termasuk di dalamnya memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup, kemerdekaan dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang dimanapun mereka berada karena kita telah menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri. Kita memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut agar kita semua dapat berlaku sejalan dengan nilai-nilai moral yang berlaku secara universal ini.
Lebih rincinya, nilai moral universal ini mengadopsi Declaration of Human Rights, dimana setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, hak untuk melindungi diri, hak untuk bebas dari perbudakan, hak untuk hidup layak, hak untuk hidup berkeluarga, hak kesetaraan hidup, hak berorganisasi, hak beragama, dan sebagainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa nilai moral universal merupakan nilai moral yang mencakup dasar-dasar nilai bagi setiap manusia di dunia, tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang dimiliki satu sama lain.
Sebaliknya, nilai-nilai moral yang bersifat nonuniversal tidak membawa tuntutan moral yang bersifat universal. Ini adalah nilai-nilai seperti kewajiban yang berlaku pada agama-agama tertentu, misalnya berpuasa, memperingati hari besar, dan sebagainya, yang secara individu menjadi tuntutan yang cukup penting tapi tidak dirasakan sama oleh orang lain.
B.       Hubungan Moralitas dan Agama
Kita hidup dalam masyarakat yang secara religi sangat beragam. Pernyataan ini dapat ditemukan dalam prinsip Amandemen Pertama yang menyebutkan bahwa pemerintah “tidak boleh membentuk hukum khusus untuk menghormati suatu agama tertentu atau menentang ritual agama tertentu.” Bagi sebagian pendidik, kondisi masyarakat kita yang terdiri atas orang-orang dengan beragam latar belakang keyakinan dan beragam agama, dipandang sebagai penghalang dalam memberikan pendidikan moral. Mereka berpikir, “Bukankah moralitas akan membawa Anda kedalam agama, lantas bagaimana sekolah dapat masuk ke sana tanpa melanggar Amandemen Pertama?”
Terdapat tujuh poin yang sangat relevan mengenai hubungan moralitas dan agama, antara lain:
1.         Kebanyakan orang di negara ini menganut agama dan memiliki identitas yang cenderung berbeda – beda.  Pada tanggal 27 Maret 1989,  sebuah polling yang dilakukan oleh Newsweek, seperti 94% warga Amerika mengatakan bahwa meyakini adanya Yang Maha Berkuasa. Pada tahun 1981 polling nasional yang dilakukan oleh Research and Forecast, Inc; menemukan bahwa sepertiga masyarakat Amerika menyatakan bahwa mereka adalah masyarakat yang “beragama”. Bagi sebagian besar masyarakat, bimbingan yang pertama dan utama dalam pembentukan moral adalah berlandaskan pada agama yang mereka anut.
2.         Agama bagi kebanyakan orang merupakan sebuah acuan utama yang membawa mereka membentuk kehidupan yang bermoral. Meskipun agama memiliki banyak perbedaan mengenai apa yang harus dilakukan umatnya dalam beribadah, mereka semua memiliki kesamaan prinsip bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan dalam hidup ini, termasuk pilihan akan perilaku moral, akan memberikan dampak yang sebanding dimasa yang akan datang (akhirat).
3.         Melalui pandangan tentang agama secara umum, Tuhan adalah Maha Pemberi Pertolongan, yang Maha Tinggi, dimana kita sebagai makhluk-Nya memiliki kewajiban untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan.
Seorang mantan pendidik Barbara Jones mengutarakan: “Penurunan moralitas di negara ini bermula ketika berbagai institusi keagamaan mulai kehilangan peran di dalam masyarakat, dan moralitas sendiri kini tidak menyatu dengan perilaku yang bermoral. Kebanyakan dari kita sekarang sudah mulai melakukan tindakan yang baik tanpa merasa perlu akan pertolongan Tuhan.”
4.         Para perintis negeri telah melihat adanya hubungan yang sangat dekat antara agama dan hak-hak asasi manusia serta sistem pemerintahan demokrasi. Deklarasi kemerdekaan pun yang memberi sebuah pandangan moral bagi konstitusi Amerika, menyertakan bahwa negara ini tidak dapat membentuk hak-hak asasi sendiri, kecuali berlandaskan pada petunjuk yang diberikan Tuhan (“Dan kami memegang teguh kebenaran tersebut secara pribadi, bahwa setiap manusia diciptakan sama, dan mereka masing-masing memiliki suatu anugerah yang di berikan Tuhan, dengan berbagai kewenangan-Nya yang tidak mungkin dapat dijalankan oleh manusia, yang didalamnya termasuk kehidupan, kemerdekaan dan usaha dalam meraih kemenangan”).
Dalam pidato perpisahan Presiden George Washington pada tahun 1796, Beliau memberikan pesan bagi negara untuk melawan keterpurukan hubungan antara moralitas dan agama. “Baik sebagai alasan dan pengalaman,” begitu beliau mengatakan, “Keduanya menghalangi kita untuk berpandangan bahwa moralitas negeri ini akan menjadi lebih bila prinsip-prinsip keagamaan dihilangkan.” Sebagai wakil presiden didalam konstitusi yang baru, John Adams mengungkapkan suatu hal yang sejalan dengan kesempatan yang dimilikinya ketika beliau menulis: “Ketika tidak memiliki pemerintah yang dilengkapi dengan kekuatan yang mampu menandingi keinginan manusia yang terkendalikan oleh moral dan agama. Konstitusi yang kami buat hanyalah untuk mereka yang bermoral dan beragama.”
Agama kemudian berlanjut menjadi suatu dukungan moral yang muncul dalam kehidupan di Amerika. Para pemimpin sosial reformis melakukan berbagai usaha perubahan mulai dari pembebasan perbudakan sampai dengan sebuah upaya pada abad ke-20 dalam membuat hak-hak warga negara yang berlandaskan pada nilai agama: Kita semua sama di mata Tuhan, kita adalah makhluk-Nya yang diperintahkan untuk hidup berdampingan dalam kesetaraan, harmoni dan keadilan. Pandangan religius tersebut sebenarnya bukan dikikis oleh mereka yang menyatakan percaya terhadap kasih sayang Tuhan. Namun, pada kenyataannya mereka melakukan tindakan yang tidak bertoleransi dan saling membenci satu sama lain.
5.         Kebanyakan siswa saat ini bersikap acuh terhadap peran agama dalam pembentukan  moral dan pembangunan negeri. Salah satu alasannya adalah sejak tahun 1960-an, nilai-nilai agama di Amerika perlahan mulai pudar dari buku-buku teks yang digunakan oleh para siswa. Pada tahun 1986, seorang profesor New York University, Paul Vitz, meluncurkan bukunya, yang memunculkan banyak diskusi, Yaitu Censorship: Evidence of Bias in Our Textbook (sebuah batasan: Bukti dari makna Bias dalam buku-buku pelajaran sekolah), yang mencantumkan satu persatu contoh potret agama yang perlahan hilang dari konteks sekolah.
Sebuah buku Ilmu Sosial SD, misalnya yang berisi sekitar 30 halaman yang bertahap. Diawali dengan ucapan syukur, tetapi bukan dalam bentuk kata-kata atau gambaran yang mengarah ke sebuah agama sebagai bagian dari kehidupan sebuah umat. Di dalam buku yang lain yang dikutip oleh Vitz, yaitu sebuat cerita Nobel Laureate Jewish dengan penulis Isaac Bashevis Singer disebutkan: Dalam cerita yang asli, serang anak laki-laki “berdoa kepada Tuhan,” dan dalam kalimat lain “bersyukur kepada Tuhan” dalam versi baru teks yang telah diedit, kata-kata yang mengandung kalimat “berdoa kepada Tuhan” perlahan dihilangkan, dan rasa syukur dalam “Thank God” berubah menjadi “Thank Godness”.
Belakangan ini, secara politik kelompok masyarakat liberal, seperti People for American Way dan Americans United for the Separation of Church and State telah memunculkan banyak kritik dalam rangka pemasukan kembali agama-agama dalam beberapa bidang yang sesuai, seperti sejarah dan budaya Amerika. Sekolah-sekolah lebih jauhnya lebih menekankan anak-anak didiknya untuk mengunakan seluruh sumber – sumber ilmu pengetahuan dan budaya, termasuk nilai-nilai keyakinan beragama di dalamnya. Ketika mereka dihadapkan pada isu-isu sosial (sebagai contoh, “apa yang seharusnya kita lakukan kepada orang-orang miskin?”) dan juga dalam membuat keputusan moral yang bersifat individual (seperti, ”apakah dibernarkan jika seseorang melakukan hubungan seks sebelum menikah?”).
6.         Banyak sekali orang yang hidup beragama, tetapi tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan. Ada juga untuk beberapa alasan, justru mempunyai perilaku yang melanggar perintah agama. Mereka tidak ingin anak-anak mereka diajarkan bahwa seseorang yang bermoral harus juga menjadi seseorang yang beragama. Akan tetapi disisi lain, mereka merasa memiliki nilai benar dalam prinsip mereka yang menentang pendidikan agama di sekolah (dalam peranannya pada sejarah dan budaya), yang merupakan tindakan diluar prinsip konstitusi yang berlaku, yaitu menyebarkan agama sebagai sesuatu yang baik dan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah-sekolah negeri memiliki 2 hal yang menjadi tugas utama: secara akurat sekolah seharusnya memberikan gambaran tentang peranan agama dalam sejarah dan mengajak para siswa untuk mengaitkan apa yang telah mereka pelajari dengan perintah yang ada dalam agama mereka masing –masing mengenai pertanyaan moral yang muncul; tetapi mereka juga harus dapat menemukan sebuah dasar dari definisi dan pengajaran moral yang menekankan pada aspek rasional tanpa melibatkan agama.
7.         Langkah-langkah dalam mendefinisikan moral secara rasional yang dapat diterima oleh semua pihak didasarkan pada sebuah prinsip klasik tentang ketuhanan, gagasan dari “dasar hukum moral” yang telah dibuktikan dalam berbagai penelitian psikologi. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah berupa studi yang menyangkut penalaran moral anak-anak, yang dilakukan oleh seorang psikolog dari University of Illionis, Larry Nuccy. Beliau menanyakan kepada beberapa ratus anak-anak Yahudi, Katholik dan Protestan tentang perilaku-perilaku buruk seperti memukul, mencuri, merusak nama baik orang lain (mengejek). Apakah hal-hal tersebut tetap menjadi sesuatu yang salah jika Tuhan tidak melarang perbuatan tersebut?. Hampir semua anak-anak dari semua agama tersebut mengatakan ya, bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan sesuatu yang salah. Lebih jauhnya, sebanyak 100% dari alasan anak-anak tersebut menyatakan bahwa pada kenyataannya perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan dan membahayakan orang lain. 
Dalam sebuah bagian dari studi yang dilakukannya, Nucci bertanya kepada anak-anak bagaimana mereka tahu apa yang diperintahkan Tuhan merupakan sesuatu yang benar dan apakah ada perintah-perintah Tuhan yang secara moral baik, tetapi menurut pandangan mereka adalah sesuatu yang sebaliknya. Dibawah ini sebuah contoh wawancara yang dilakukan dengan seorang anak Yahudi berusia 10 tahun, Michael (nama samaran):
Penanya:       Michael bagaimana kita tahu kalau apa yang dituliskan dalam Taurat itu adalah hal yang benar untuk dilakukan ?
Michael:        Tuhan tidak akan menyakiti kita atau melakukan hal-hal buruk pada kita. Kita percaya pada Tuhan, kita menganggap bahwa Tuhanlah yang menuliskan Taurat, dan kita berpikir bahwa Tuhan akan menyukai kita kalau kita melakukan semua yang diperintahkan, dan kita juga berpikir bahwa kita hadir dihadapan Tuhan kalau kita sedang berdoa dengan mengikuti aturan-aturannya.
Penanya:       Baiklah tapi bagaimana kita bisa yakin bahwa yang dikatakan Tuhan pada kita itu adalah hal yang benar ?
Michael:        Kita sudah mencobanya. Kita coba saja semua aturan yang ada di Taurat dan kita akan tahu.
Penanya:       Mari kita andaikan bahwa Tuhan menuliskan di dalam Taurat agar orang Yahudi mencuri. Lalu apakah benar jika orang Yahudi mencuri ?
Michael:        TIDAK.
Penanya:       Mengapa tidak?
Michael:        Meskipun Tuhan mengatakan begitu, kita tahu dia tidak bermaksud begitu, karena mencuri itu sangat tidak baik. Mungkin itu hanya sebuah ujian, tapi kita tahu kalau Tuhan tidak bermaksud begitu.
Penanya:       Mengapa Tuhan tidak bermaksud  begitu?
Michael:        Karena Tuhan itu Maha Baik, Maha Sempurna.
Penanya:       Dan karena dia orang yang maha sempurna dia tidak akan menyuruhmu mencuri? Mengapa tidak ?
Michael:        Ya, karena kita tidak sempurna, tapi kita masih bisa mengerti. Kita tidak bodoh. Kita masih bisa mengerti kalau mencuri itu tidak baik.”
Respon Michael terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Nucci adalah respon biasa yang diberikan kepada anak-anak, sama seperti yang diberikan oleh anak-anak dari keyakinan lain. Apa yang dikatakan ana-anak ini adalah bahwa Tuhan yang baik tidak akan memerintahkan hal-hal yang buruk seperti mencuri dan bahkan anak-anak sekalipun.
Riset ini memberikan sebuah dukungan baru terhadap apa yang telah lama diyakini oleh para teolog dan filsuf: Terdapat hukum moral alamiah yang melarang manusia berbuat tidak adil terhadap orang lain dan dapat dirasakan menggunakan akal manusia. Hukum moral alamiah ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam prinsip-prinsip agama (seperti “Sayangilah tetanggamu” dan” Janganlah kamu mencuri”) tetapi memiliki logika independenya sendiri yang dapat ditangkap oleh anak-anak sekalipun. Implikasi pendidikan dari hukum alamiah universal ini sangat penting: hukum ini memberi kandungan moral obyektif pada sekolah- “Bersikaplah adil dan peduli terhadap orang lain” -yang dapat diajarkan secara sah ditengah-tengah masyarakat yang beragama dalam segi agama.
C.      Sikap Hormat dan Tanggung Jawab
Hukum moral alamiah yang dapat digunakan untuk mendasari agenda moral sekolah dapat diekspresikan dalam dua macam nilai dasar yaitu sikap hormat dan tanggung jawab. Kedua nilai ini merupakan dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Kedua nilai ini memiliki kelayakan obyektif dan dapat ditunjukkan fungsinya terhadap kebaikan individual maupun kebaikan seluruh masyarakat. Nilai sikap hormat dan tanggung jawab sangat penting untuk:
1.    Membangun kesehatan pribadi;
2.    Menjaga hubungan interpersonal;
3.    Membangun masyarakat yang demokratis dan berkeperimanusiaan;
4.    Membentuk dunia yang adil dan damai.
Sikap hormat dan bertanggung jawab merupakan hal yang bukan hanya boleh tetapi harus diajarkan di sekolah untuk membangun manusia-manusia yang secara etis berilmu dan dapat memposisikan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab.
1.         Sikap Hormat
Sikap hormat berarti menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri orang lain atau pun hal lain selain diri kita. Nilai ini memiliki tiga macam bentuk utama, yaitu sikap hormat terhadap diri sendiri, sikap hormat terhadap orang lain, sikap hormat terhadap semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang menunjangnya.
Sikap hormat terhadap diri sendiri menuntut kita untuk memperlakukan kehidupan kita sendiri dan manusia lain sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Oleh karena itu perilaku yang merusak diri sendiri seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol merupakan hal yang salah. Dalam keseharian di sekolah perwujudan sikap menghormati diri sendiri bisa kita tunjukkan dengan kerapian dan kebersihan pakaian seragam kita. Kita akan merasa lebih baik dan percaya diri apabila apa yang kita pakai dalam keadaan bersih dan rapi.
Sikap hormat kepada orang lain menuntut kita untuk memperlakukan semua orang termasuk orang-orang yang membenci kita atau yang kita benci sebagai manusia yang memiliki harga diri serta hak yang sama dengan diri kita. Hal ini merupakan intisari dari Kaidah Kenca yaitu “Perlakukan orang lain sama sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”. Perwujudan sikap menghormati orang lain di sekolah yaitu misalnya dengan berkata sopan dan jujur terhadap semua warga sekolah. Mendengarkan ketika guru sedang memberikan materi pelajaran atau diam tidak memotong pembicaraan orang lain baik guru ataupun teman kita.
Sikap hormat terhadap seluruh jaringan kehidupan yang kompleks atau alam yang menunjang kehidupan kita melarang perbuatan kejam terhadap hewan dan memerintah kita untuk berbuat baik kepada lingkungan alam, ekosistem yang kepadanya seluruh kehidupan bergantung. Misalnya saja di halaman sekolah terdapat rerumputan yang dihuni belalang dan kupu-kupu peserta didik sebagai warga sekolah harus menghormati ekosistem yang ada dengan tidak menganggu/merusak habitat kupu-kupu dan belalang tersebut.
Bentuk lain dari sikap hormat dapat terlihat dari hal-hal berikut ini. Rasa hormat terhadap sesuatu yang dimiliki sebagai contoh, muncul dari suatu pemahaman bahwa apa yang kita miliki merupakan bagian dari diri kita ataupun masyarakat kita. Rasa hormat terhadap suatu kewenangan muncul dari pemahaman bahwa gambaran dari legitimasi wewenang merupakan pengalihan bentuk kepedulian kepada orang lain. Tanpa adanya orang yang berwewenang, kita tidak mungkin dapat menjalani kehidupan keluarga, sekolah maupun negara. Ketika orang-orang tidak lagi menghargai suatu kewenangan maka segala sesuatunya tidak akan berjalan dengan baik dan semua orang akan merasakan akibatnya.
Sopan santun juga merupakan bentuk lain dari penghormatan terhadap orang lain. Di dalam suatu kelas misalnya ketika seorang guru sedang memberikan materi pelajaran dan banyak siswa yang berdiskusi sendiri tanpa ada kaitannya dengan materi, maka guru tersebut akan berhenti dan memberikan kesempatan siswanya untuk berdiskusi sebentar dan meminta maaf kepada guru tersebut. Atau apabila mereka ingin pergi ke kamar mandi maka mereka diajari untuk meminta izin terlebih dahulu bukan seenaknya sendiri keluar dari ruang kelas. Selain kedua contoh diatas wujud dari sikap hormat kepada warga sekolah bisa diterapkan kepada pelayan kantin atau pemiliknya. Ketika siswa sedang berada dikantin untuk makan siang atau lainnya mereka dibiasakan untuk mengucapkan terima kasih. Mereka diajari bahwa seluruh seluruh perilaku tersebut bukanlah sekedar gerak-gerik tubuh mekanis, tetapi merupakan cara yang penuh makna dalam menunjukkan sikap hormat pada orang lain.
Sikap hormat juga merupakan prinsip utama demokrasi. Sikap hormat terhadap orang lainlah yang yang menuntun orang untuk menciptakan konstitusi yang mewjibkan negara melindungi, tidak melanggar hak-hak masyarakat yang diaturnya.
Misi moral pertama dari sekolah adalah mengajarkan nilai dasar sikap hormat terhadap diri sendiri orang lain dan lingkungan.
2.         Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan bentuk lanjutan dari sikap hormat. Apabila kita menghormati orang lain, berarti kita menghargainya. Apabila kita menghargai mereka, berarti kita merasakan suatu ukuran rasa tanggung jawab untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka.
Secara harfiah, tanggung jawab berarti kemampuan untuk menanggung atau merespon. Hal ini berarti tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberi perhatian terhadap mereka, dan tanggap terhadap kebutuhan mereka. Tanggung jawab menekankan pada kewajiban positif untuk saling peduli satu sama lain.
Rasa hormat, dilihat dari perbandingannya lebih menekankan pada kewajiban kita yang terkadang berbentuk negatif. Sebagian dari isinya menyangkut apa yang tidak boleh dilakukan. Hal tersebut biasanya disebut “moralitas larangan”. Misalnya ada guru mengatakan “ Janganlah kamu menyontek ” mengandung makna “kamu rajinlah belajar”.
Akan tetapi sekedar larangan moral saja belum cukup. Sebuah etika bertanggung jawab memberikan makna nilai moral yang seharusnya. Jika sikap hormat mengatakan “jangan sakiti” maka rasa tanggung jawab mengatakan “berilah pertolongan”. Dari kedua contoh perintah tersebut tidak menyebutkan seberapa besar kita harus berkorban, memberi kepada yang membutuhkan, bekerja untuk masyarakat atau hadir kepada orang-orang yang membutuhkan kita. Tetapi sebuah tanggung jawab moral tidak secara langsung meminta kita untuk “mengorbankan” sesuatu atau tanggung jawab menunjukkan kepada kita arah yang benar. Tanggung jawab bersifat meminta kita untuk mencoba, melalui cara apapun yang kita dapat dari sekedar tahu sampai dengan mendukung satu sama lain, meringankan beban sesama dan membuat dunia ini sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Tanggung jawab merupakan sikap dapat diandalkan, tidak mengabaikan orang lain yang sedang kesulitan. Kita menolong orang-orang dengan memegang komitmen yang telah kita buat, apabila kita tidak menolong mereka artinya kita membuat kesulitan baru bagi mereka.
Penekanan terhadap tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dilakukan saat ini. Hal ini karena ketika orang berfikir tentang moralitas mereka cenderung mengedepankan pemenuhan hak dengan mengabaikan pemenuhan kewajiban sehingga banyak orang disalahkan karena hak pribadi tidak terpenuhi. Sehingga hal ini dapat memunculkan benih pertikaian dan kekerasan. Hak-hak merupakan suatu bagian tambahan dalam konteks moralitas. Akan tetapi salah satu tantangan moral yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dan bagaimana membentuk para pemuda untuk memiliki kepekaan yang baik terhadap kedua hal tersebut.
Contoh sikap tanggung jawab di lingkungan sekolah: seorang anak ditunjuk sebagai ketua kelas oleh wali kelasnya dengan musyawarah kelas. Maka ketua kelas terpilih tersebut mempunyai tanggung jawab terhadap anggota kelasnya. Sehingga dia memiliki hak dan kewajiban yang harus terpenuhi.
D.      Nilai-nilai Moral Yang Sebaiknya Diajarkan di Sekolah
Selain sikap hormat dan bertanggung jawab, masih banyak bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah, yang merupakan  kelanjutan dari rasa hormat dan tanggung jawab maupun menjadi media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung jawab, antara lain:
1.         Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu bentuk nilai yang dalam hubungannya dengan manusia adalah tidak menipu, tidak berbuat curang maupun mencuri, hal itu menjadi salah satu cara menghormati orang lain.
2.         Keadilan
Sikap adil mengharuskan kita untuk memperlakukan orang-orang tanpa membeda-bedakan, tapi harus tetap sesuai porsi masing-masing.
3.         Toleransi
Toleransi merupakan bentuk refleksi dari sikap hormat. Meskipun toleransi dapat berbaur menjadi sebuah relativisme netral untuk menghindari berbagai prasangka yang menyangkut etika, toleransi pada akhirnya adalah tanda dari salah satu arti kehidupan yang beradab. Toleransi ini merupakan sikap yang memiliki kesetaraan dan tujuan bagi mereka yang memiliki pemikiran, ras dan keyakinan berbeda-beda. Toleransi adalah sesuatu yang membuat dunia setara dari berbagai bentuk perbedaan.
4.         Kebijaksanaan
Kebijaksanaan dapat menjadikan kita menghormati diri sendiri, misalnya kita menjauhi diri kita dari hal-hal yang dapat membahayakan diri baik secara fisik maupun moral (sejalan dengan gagasan klasik, “menghindari hal-hal yang menimbulkan dosa”).
5.         Disiplin diri
Sedangkan disiplin diri membentuk diri kita untuk tidak mengikuti keinginan hati yang mengarah pada perendahan nilai diri atau perusakan diri, tetapi untuk mengejar apa-apa yang baik bagi diri kita, dan untuk mengejar keinginan sehat dan positif dalam kadar yang sesuai. Disiplin diri juga membentuk diri kita untuk tidak mudah puas terhadap apa yang telah diraih, dengan cara mengembangkan kemampuan, bekerja dengan manajemen waktu yang bertujuan dan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan.
6.         Tolong menolong
Sikap tolong-menolong membantu kita dalam menyelesaikan tanggung jawab terhadap etika berlaku secara luas. Jiwa tolong-menolong memberikan bimbingan untuk berbuat kebaikan dengan hati.

7.         Peduli sesama
Sikap ini memiliki arti “berkorban untuk”, yang dapat membantu kita untuk tidak hanya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab kita, tapi juga merasakannya.
8.         Kerja sama
Sikap saling bekerja sama mengenal bahwa “tidak ada yang mampu hidup sendiri di sebuah pulau” dan dunia yang semakin sering membutuhkan, kita harus bekerja bersama-sama dalam meraih tujuan yang pada dasarnya sama dengan upaya pertahanan diri.
9.         Keberanian
Sikap berani akan membantu para pemuda untuk menghormati diri mereka sendiri agar dapat bertahan dalam berbagai tekanan teman-teman sebaya untuk melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatan hidup mereka. Sikap berani juga membentuk kita semua untuk menghormati hak-hak orang lain ketika kita menghadapi sebuah tekanan yang memaksa kita untuk bergabung dalam sikap yang mengarah pada ketidakadilan. Keberanian juga membentuk kita untuk bertindak tegas dan positif terhadap orang lain.
10.     Sikap demokratis
Sangatlah mudah untuk melihat bagaimana nilai-nilai tersebut membentuk sebuah masyarakat berdasarkan pada rasa hormat dan tanggung jawab. Aturan hukum, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan makna dari sebuah proses, argumen yang beralasan, adanya perwakilan pemerintahan, check and balance, pengambilan keputusan yang demokratis, semua hal tersebut merupakan “nilai-nilai prosedural” yang diambil secara bersama-sama dan kemudian menjadi definisi dari demokrasi.
Demokrasi, pada gilirannya merupakan cara yang diketahui terbaik dalam menjamin keamanan dari hak asasi masing-masing individu (untuk memiliki rasa hormat) dan juga mengangkat makna dari kesejahteraan umum (bersikap baik dan bertanggung jawab kepada semua orang). Mendidik sebuah pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi tersebut dan bagaimana mereka membangunn realitas melalui hukum-hukum yang berlaku merupakan bagian utama dari perubahan moral yang terjadi di sekolah. Nilai-nilai tersebut juga membantu kita untuk mendefinisikan makna “patriotisme” yang seharusnya diajarkan di sekolah. Dalam sebuah demoktasi, patriotisme bukanlah berarti, “Inilah negeriku, dengan segala yang benar dan yang salah.” Dengan demikian, loyalitas berada pada nilai-nilai demokratis, dimana negeri inipun dibangun atas hal tersebut.
E.       Pengembangan Nilai Yang Menjadi Target Pengajaran
Sebaiknya, dalam mengembangkan nilai yang menjadi target pengajaran di sekolah, dimulai dengan pengajaran nilai hormat dan tanggung jawab. Kedua nilai tersebut dapat membantu dan menutup dengan pemahaman akan sebagian atau bahkan seluruh nilai-nilai tersebut. Selain itu, pengaplikasian proses, melalui penyusunan tahapan pengajaran nilai masih menjadi hal yang penting pula. Proses tersebut merupakan sebuah kesempatan untuk membawa atau setidaknya untuk survei input seluruh guru, staf administrasi, staf sekolah bidang lain, orang tua, siswa dan perwakilan masyarakat untuk mendapat dukungan dalam skala besar. Lebih jauhnya, sejumlah sekolah/wilayah yang ikut terlibat dalam program ini lebih cenderung untuk menjadikan program yang dimaksud sebagai program khusus dan menjadi prioritas daerah.
Cara dalam mencari tahu titik kelemahan moral kita bersifat instruktif bila harus dihadapkan pada beragamnya masyarakat, khususnya negara yang penduduknya memiliki masyarakat yang berbeda dengan yang kita miliki. Mendapat kesepahaman tentang nilai-nilai yang diajarkan tentunya tidak akan menjamin bahwa orang-orang akan sepaham menangani bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai tersebut di dalam setiap kesepatan. Itu adalah hal paling utama dalam pendidikan nilai, khususnya ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan moral atau adanya sebuah kecenderungan dari pihak lain. Misalnya, ukuran seperti apa yang seharusnya diberikan pada “rasa hormat terhadap kehidupan” dan “kebebasan memilih dalam perdebatan mengenai isu aborsi? Apa makna “patriotisme” pada masa peperangan?
Namun, ketidaksepahaman dalam tahap aplikasi atau pelaksanaan janganlah mengaburkan makna dari nilai-nilai itu sendiri atau menghilangkan bukti-bukti bahwa sebenarnya kebanyakan waktu yang kita gunakan untuk menerjemahkan makna nilai moral yang telah kita tahu ke dalam kehidupan sosial.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam kehidupan ini, terdapat dua macam nilai yang bisa dibedakan, yaitu nilai moral dan nilai nonmoral. Termasuk di dalam nilai moral yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, dimana hal-hal tersebut dituntut untuk dilakukan dalam kehidupan ini karena sangat berkaitan dengan orang lain. Sedangkan nilai-nilai nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral.
Bagi sebagian pendidik, kondisi masyarakat kita yang terdiri atas orang – orang dengan beragam latar belakang keyakinan dan beragam agama, dipandang sebagai penghalang dalam memberikan pendidikan moral. Terdapat hukum moral alamiah yang melarang manusia berbuat tidak adil terhadap orang lain dan dapat dirasakan menggunakan akal manusia. Hukum moral alamiah ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam prinsip – prinsip agama (seperti “Sayangilah tetanggamu” dan” Janganlah kamu  mencuri”) tetapi memiliki logika independenya sendiri yang dapat ditangkap oleh anak – anak sekalipun. Nilai sikap hormat dan tanggung jawab sangat penting untuk:
1.         Membangun kesehatan pribadi
2.         Menjaga hubungan interpersonal
3.         Membangun masyarakat yang demokratis dan berkeprimanusiaan
4.         Membentuk dunia yang adil dan damai
Dari sikap hormat dan tanggung jawab itu, kita bisa tanamkan nilai-nilai lain seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian dan demokratis.



DAFTAR PUSTAKA

Lickona, Thomas. 2013. Educating for Character (Mendidik untuk Membentuk Karakter). Jakarta: Bumi Aksara


Dharma Kesuma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar